Waspadai RKUHP yang Melemahkan Upaya Pemberantasan Korupsi!

Foto: BreakingNews.co.id
Foto: BreakingNews.co.id

Pada 30 Mei 2018, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo, memberikan dukungannya untuk menyelesaikan dan mengesahkan RKUHP pada bulan Agustus 2018. Percepatan pembahasan RKUHP ini tidak dapat dipahami oleh publik, mengingat masih banyaknya permasalahan dalam perumusan pasal-pasal di dalam RKUHP.

Dalam hal pemberantasan korupsi, masuknya delik korupsi dalam RKUHP akan menimbulkan permasalahan serius. Permasalahan tersebut berangkat dari dimasukkannya delik-delik korupsi yang bersumber dari UU Tipikor, dengan perubahan sanksi pidana yang signifikan. Hal ini justru akan memunculkan diskresi yang sangat besar bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal terhadap tersangka maupun terdakwa.

Sebagai contoh, para pembuat UU bersepakat untuk memasukkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor ke dalam RKUHP sebagai core crimes yang menjadi cantolan bagi UU lain yang berada di luar RKUHP. Pasal 2 UU Tipikor misalnya, berubah menjadi Pasal 687 RKUHP, sedangkan pasal 3 UU Tipikor berubah menjadi Pasal 688 RKUHP.

Dalam perumusan sanksi pidananya, terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam hal besaran sanksi denda maupun penjara. Selain itu, terdapat catatan-catatan lain yang sama pentingnya terkait penegakan hukum dalam perkara korupsi.

Dalam draft RKUHP tertanggal 2 Februari 2018, ketentuan mengenai delik atau tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 687-696. Sebagian ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) diadopsi langsung di RUU HP. Dalam naskah rancangan regulasi tersebut setidaknya ada enam pasal serupa dengan Pasal 2, 3, 5,11 dan 12 UU Tipikor.

ICW menilai dengan dimasukkannya tindak pidana atau delik korupsi dalam RUU HP justru merupakan langkah mundur dan ancaman serius bagi upaya pemberantasan korupsi. Pengaturan Delik korupsi dalam RUU HP bahkan dapat dinilai kompromi dan berpihak pada koruptor. ICW mencatat setidaknya tiga ancaman serius bagi upaya pemberantasan korupsi jika mencermati ketentuan delik korupsi yang diatur dalam RUU HP (Versi 2 Februari 2018).

Pertama, memangkas kewenangan penindakan dan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa jika RKUHP disahkan tidak akan mengganggu kerja KPK, namun kenyataannya justru dapat sebaliknya. Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam UU KPK tidak lagi berlaku jika RKUHP disahkan. Artinya KPK tidak lagi berwenang menangani kasus korupsi yang diatur dalam KUHP. Pada akhirnya KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi karena tidak dapat melakukan penindakan dan penuntutan.

Kewenangan KPK tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor. Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, maka kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kasus korupsi nantinya akan beralih kepada Kejaksaan dan Kepolisian karena kedua institusi ini dapat menangani kasus korupsi yang diatur selain dalam UU Tipikor.

Kedua, selain KPK, Pengadilan Tipikor juga berpotensi mati suri jika delik korupsi masuk dalam RKUHP. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor pada intinya menyebutkan bahwa Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Dengan demikian jika tindak pidana korupsi diatur  dalam KUHP maka kasusnya tidak dapat diadili oleh Pengadilan Tipikor dan hanya dapat diadili di Pengadilan Umum. Sebelum Pengadilan Tipikor dibentuk, Pengadilan Umum dikenal sebagai institusi yang banyak membebaskan koruptor.

Ketiga, sejumlah ketentuan delik korupsi dalam RUU HP justru menguntungkan koruptor. Kondisi ini berbeda dengan UU Tipikor yang selama ini dinilai efektif menjerakan korupsi.  Ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam RUU HP lebih rendah dari ketentuan yang diatur dalam RUU HP. Lebih ironis adalah koruptor yang diproses secara hukum bahkan dihukum bersalah tidak diwajibkan membayar uang pengganti kepada Negara karena RUU HP tidak mengatur hukuman membayar uang pengganti atau uang yang telah dikorupsi.

Berdasarkan sejumlah catatan tersebut maka ICW menyatakan menolak pengaturan delik korupsi dimasukkan ke dalam RKUHP. DPR dan Pemerintah sebaiknya mengakomodir usulan perubahan maupun penambahan delik korupsi dalam Revisi UU Tipikor dan tidak memaksakan dicantumkan meskipun terbatas kedalam RKUHP.

Indonesia Corruption Watch

Jakarta, 31 Mei 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags