Rangkap Jabatan, Timses, Hingga Mantan Terpidana Korupsi: Cacat Integritas dan Potensi Konflik Kepentingan Dalam Pengangkatan Direksi & Komisaris BUMN
Pada Kamis, 19 Agustus 2021, Menteri BUMN Erick Thohir menetapkan Wakil Menteri Pertahanan RI Muhammad Herindra sebagai komisaris PT Len Industri. Pada 24 Agustus 2021, mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang diangkat menjadi Wakil Komisaris Utama PT Bank Syariah Indonesia.
Penetapan Muhammad Herindra dan Tuang Guru Bajang memperpanjang catatan tidak elok mengenai pengangkatan Direksi & Komisaris BUMN. Muhammad Herindra merangkap jabatan sebagai Wakil Menteri Pertahanan. Sementara Tuan Guru Bajang tergabung dalam Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo – Ma’aruf Amin.
Temuan Ombudsman RI menunjukkan, hingga tahun 2019 terdapat 397 pejabat publik yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN dan 167 orang di anak perusahaan BUMN. Temuan Ombudsman RI juga mencatat 254 orang atau 64% dari total komisaris rangkap jabatan adalah pejabat kementerian. Selain Ombudsman, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga pernah menemukan direksi dan komisaris BUMN yang merangkap jabatan di perusahaan lain non-BUMN. Hingga Desember 2020, sedikitnya terdapat 18 orang yang merupakan tim sukses Joko Widodo dalam pemilihan presiden diangkat menjadi komisaris di BUMN. Beberapa diantaranya merangkap jabatan sebagai pejabat publik.
Adapun beberapa nama pejabat kementerian yang rangkap jabatan sebagai komisaris antara lain adalah Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara yang merangkap sebagai Wakil Komisaris Utama PT PLN, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo sebagai Komisaris Utama Bank BRI dan sempat menjabat sebagai Komisaris Utama Bank Mandiri, dan mantan Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin yang pernah menjabat sebagai Wakil Komisaris Utama PT Pertamina. Budi saat ini menjabat sebagai Menteri Kesehatan RI dan setelah diangkat sebagai menteri, posisinya sebagai Komisaris Utama PT Pertamina diganti oleh Pahala Mansury. Di luar pejabat kementerian, pada Juli 2021 lalu Rektor Universitas Indonesia, Ari Kuncoro, ditetapkan sebagai Komisaris Bank Rakyat Indonesia, sebelum akhirnya mengundurkan diri.
Selain itu masalah lain adalah diangkatnya mantan terpidana korupsi sebagai pejabat BUMN. Mantan terpidana korupsi Emir Moeis diangkat sebagai komisaris PT Pupuk Iskandar Muda, anak perusahaan PT Pupuk Indonesia. Politisi senior PDIP tersebut tersangkut kasus korupsi suap pembangunan 6 bagian Pembangkit Listrik Tenaga Uap 1000 MW di Tarahan, Lampung. Adapun kasus tersebut belum tuntas sepenuhnya dan dapat terus dikembangkan ke aspek lain seperti pencucian uang.
Pengangkatan komisaris BUMN yang rangkap jabatan, memiliki rekam jejak bermasalah, dan merupakan timses pemenangan dalam pemilihan presiden telah berulangkali terjadi dan karenanya harus dihentikan. Keberadaan mereka sebagai direksi ataupun komisaris BUMN berpotensi menimbulkan permasalahan seperti konflik kepentingan. Konflik kepentingan seperti yang diketahui merupakan pintu masuk korupsi. Sejumlah tindak pidana korupsi terjadi antara lain akibat adanya pembiaran terhadap potensi konflik kepentingan.
Contoh terdekat misalnya kasus korupsi yang menjerat Bupati Bandung Barat Aa Umbara. Dalam kasus pengadaan barang tanggap darurat pandemi Covid-19, tugas dirinya adalah untuk mengawasi. Namun ia diduga menunjuk anaknya untuk terlibat dalam proyek pengadaan. Dalam dakwaan jaksa KPK, Aa diduga telah mengatur tender pengadaan barang untuk bansos Covid-19.
Dari kasus itu kita bisa melihat, konflik kepentingan berpotensi memunculkan kasus korupsi. Pejabat yang memiliki konflik kepentingan berpotensi menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya. Dalam hal rangkap jabatan pejabat BUMN, potensi konflik kepentingan jika dibiarkan bukan tidak mungkin dapat memunculkan kasus-kasus korupsi. Mereka juga berpotensi bersikap diskriminatif, serta mengelola BUMN atau instansinya dengan tidak transparan dan akuntabel. Selain itu, mereka berpotensi menerima penghasilan ganda.
Diangkatnya mantan terpidana korupsi sebagai pejabat BUMN menunjukkan bahwa pengangkatan tersebut cacat integritas. BUMN semestinya diisi oleh orang-orang yang memiliki kompetensi dan integritas. Akan tetapi pemerintah justru mengangkat pihak yang pernah terjerat kasus korupsi. Sementara itu pengangkatan timses dalam pemilihan presiden sebagai direksi/komisaris BUMN seakan menunjukkan bahwa BUMN hanyalah tempat untuk “ucapan terima kasih” dan “bagi-bagi kursi” semata.
Fenomena rangkap jabatan berpotensi bertentangan dengan pasal 17 dan pasal 1 ayat (5) UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pasal 33 UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, dan Pasal 26 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pengangkatan direksi atau komisaris BUMN yang rangkap jabatan atau memiliki rekam jejak bermasalah menunjukkan buruknya standar kualifikasi pejabat BUMN. Nampaknya tidak ada standar kualifikasi yang bersandar pada rekam jejak, integritas, serta kapasitas. Hal ini dapat berujung memperpanjang masalah BUMN yang selama ini kerapkali terjadi seperti maraknya kasus korupsi, hutang melonjak, hingga kerugian. Tanpa standar kualifikasi pejabat BUMN yang bersandar pada hal-hal tersebut, maka permasalahan tersebut tidak akan tertuntaskan.
ICW turut memberikan catatan terhadap Peraturan Menteri BUMN Nomor 10 Tahun 2020 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN. Peraturan itu memiliki banyak celah sehingga membuat pengangkatan komisaris berpotensi mengabaikan konflik kepentingan serta cacat integritas. Sudah sepatutnya Peraturan Menteri BUMN tersebut diubah dengan mempertimbangkan aspek konflik kepentingan dan integritas.
Praktik buruk pengangkatan komisaris BUMN yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan serta cacat integritas harus segera diakhiri. Jika hal ini terus berlanjut, maka BUMN akan gagal mencapai tujuan keberadaannya, yakni memberi kebaikan pada kepentingan publik yang luas.
25 Agustus 2021
Indonesia Corruption Watch
Narahubung:
Egi Primayogha