KPK Harus Telusuri Proyek-Proyek Infrastruktur yang Menyangkut Nurdin Abdullah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah sebagai tersangka. KPK perlu menelusuri keterlibatan Nurdin dalam proyek-proyek infrastruktur lainnya.
Nurdin ditetapkan sebagai tersangka setelah diduga menerima suap sebesar Rp 5,4 Miliar terkait proyek infrastruktur di Sulawesi Selatan. Dia ditetapkan sebagai tersangka bersama Sekretaris Dinas PUTR Sulawesi Selatan, Edy Rahmat dan Direktur PT Agung Perdana Bulukumba, Agung Sucipto. Edy disebut sebagai anak buah Nurdin, sementara Agung diduga merupakan pemberi suap kepada Nurdin.
Penetapan tersangka Nurdin Abdullah patut disayangkan. Selama ini dia dikenal sebagai figur bersih dan inovatif. Pada tahun 2017, Nurdin pernah diberikan penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) saat menjabat sebagai Bupati Bantaeng dan predikat kepatuhan terhadap standar pelayanan publik dari Ombudsman RI. Ia juga pernah menerima penghargaan Tokoh Perubahan dari surat kabar Republika.
Namun dari kasus ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa pengawasan publik tidak sepatutnya melemah ketika terdapat sosok yang dikenal bersih dan inovatif menduduki posisi pejabat publik. Pejabat publik memiliki kewenangan yang besar sehingga potensi penyelewengan selalu terbuka lebar. Pengawasan ini krusial jika melihat kecenderungan publik yang seringkali melonggarkan pengawasannya atau permisif terhadap perilaku pejabat publik yang dikenal sebagai sosok “orang baik”.
Penetapan tersangka Nurdin sudah semestinya menjadi pintu masuk bagi KPK untuk menelusuri aspek-aspek lain yang berkaitan. Pertama adalah pentingnya penelusuran aliran dana dari uang suap yang diduga diterima oleh Nurdin. KPK perlu menelusuri hal tersebut untuk membuktikan apakah ada pihak lain yang turut menikmati uang tersebut, baik individu, atau organisasi seperti partai politik. Jika terbukti, maka pihak-pihak tersebut patut untuk ikut dijerat.
Penelusuran itu menjadi penting mengingat biaya politik dalam kontestasi pemilu di Indonesia teramat mahal. Untuk menutupi kebutuhan pemilu, kandidat pejabat publik seperti kepala daerah kerap menerima bantuan dari pengusaha. Kandidat juga perlu memberikan mahar politik kepada partai politik. Sehingga saat menjadi pejabat publik, ia akan melakukan berbagai upaya untuk melakukan “balas budi” ataupun memfasilitasi permintaan dari pihak-pihak tersebut. Upaya tersebut diantaranya adalah praktik-praktik korupsi.
Kedua, KPK perlu mendalami dugaan keterlibatan Nurdin dalam proyek-proyek infrastruktur lainnya. Nurdin pernah disebut-sebut memanfaatkan kewenangannya dalam memberikan AMDAL terhadap dua perusahaan pertambangan pasir, yaitu PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur. Nurdin diduga menekan bawahannya agar perusahaan tersebut mudah mendapatkan AMDAL. Perusahaan tersebut lalu diketahui terafiliasi dengan dirinya dan berisikan orang-orang yang pernah menjadi tim sukses dalam kontestasi pilkada. Perusahaan itu juga diketahui akan memasok kebutuhan proyek infrastruktur Makassar New Port yang merupakan proyek strategis nasional.
Kasus Nurdin juga menunjukkan pentingnya pengawasan terhadap proyek-proyek infrastruktur secara keseluruhan. Pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang masif dan menyebar di seluruh Indonesia telah menjadi prioritas Presiden Joko Widodo. Namun kita perlu melihat bahwa nafsu untuk membangun infrastruktur justru dapat berimbas pada munculnya praktik-praktik korupsi yang meluas, bagi-bagi konsesi, serta kerugian bagi warga yang berlokasi di sekitar proyek infrastruktur.
Jakarta, 28 Februari 2021
Indonesia Corruption Watch
Egi Primayogha
Narahubung:
08562210002