Darurat Integritas Pilkada Serentak 2018

Foto: Dok.ICW
Foto: Dok.ICW

Antikorupsi.org, Jakarta, 5 Maret 2018 – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang saat ini baru masuk dalam tahapan kampanye menimbulkan banyak masalah. Masalah utama yang dapat disorot adalah terkait integritas. Tak hanya integritas para calon kepala daerah yang bermasalah, ternyata integritas penyelenggara pilkada pun bermasalah. Banyak hal yang melatarbelakangi hingga masalah ini dapat terjadi, baik dari proses pemilihan tim seleksi (timsel) hingga sanksi yang seharusnya dikenakan kepada partai politik supaya masalah ini tidak berulang.

Fadli Ramadhanil, peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengungkapkan bahwa fenomena penetapan 8 orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi selama kurun waktu dua bulan pada 2018 ini, merupakan tamparan yang keras terhadap pencalonan kepala daerah yang dilakukan oleh partai politik. Hal ini diungkapkannnya dalam konferensi pers bertajuk “Darurat Integritas Pilkada: Kandidat Hingga Penyelenggara Terjerat Korupsi” pada hari Jumat, 2 Maret 2018, di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW). Ia pun menambahkan bahwa adanya penangkapan bakal calon kepala daerah bahkan ketika mereka belum ditetapkan menjadi calon, menunjukkan mekanisme yang dianut partai politik selama ini tidak serius dan terbuka. Hal yang dipertimbangkan partai politik hanyalah elektabilitas calon dan mahar. Akibatnya, potensi tindakan koruptif dan penerimaan suap menjadi rentan dilakukan.

Perludem pun telah merilis daftar petahana yang maju dalam Pilkada serentak 2018 sebanyak 214 orang. Daftar petahana ini dikategorisasi menjadi petahana yang naik tingkatan maupun tidak. Akan tetapi daftar ini sebenarnya mengkonfirmasi bahwa petahana yang menguasai birokrasi, menguasai anggaran, dan masih memiliki pengaruh kuat terhadap sumber ekonomi dan sumber daya di daerah, menggunakan kekuasaannya untuk maju kembali menjabat dua periode. Tak mengherankan ketika para petahana terbukti menyelewengkan kekuasaannya untuk membiayai kemenangan pilkada.

Fadli mendorong untuk menanggapi fenomena ini adalah harus ada tindakan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tindakan bisa berupa mekanisme mengeluarkan tersangka kasus korupsi dari bursa pencalonan kepala daerah ataupun mekanisme diskualifikasi. KPU berwenang membuat peraturan yang salah satunya terkait mekanisme pencalonan selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu.

Di lain sisi, permasalahan integritas ternyata tidak hanya menjangkiti calon kepala daerah, tetapi juga penyelenggara pilkada. Kasus terbaru ditangkapnya Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan Komisioner KPU Garut oleh Satuan Tugas (Satgas) Anti Politik Uang Kepolisian RI menambah deret panjang cacat integritas Pilkada 2018. Mereka ditangkap karena diduga menerima suap dari salah satu pasangan calon kepala daerah.

Adellin Syahda, peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, dalam konferensi pers memaparkan Undang-Undang Pemilu sangat saklek dan banyak aturan yang harus dipenuhi untuk menjadi penyelenggara pemilu. Ada 1 dari 15 poin syarat penyelenggara pemilu, yaitu integritas, kepribadian, jujur, dan adil. “Ini artinya secara persona yang bermasalah. Regulasi sudah dibuat, tetapi personanya yang tidak bisa mem-filter calon-calon penyelenggara ini. Padahal timsel adalah ujung tombak untuk menghasilkan penyelenggara-penyelenggara pemilu berintegritas di daerah”, ujar Adel.  

Bila melihat lagi ke belakang, akan muncul pertanyaan apakah pemilihan timsel untuk menghasilkan penyelenggara-penyelenggara pemilu juga sudah sesuai aturan perundang-undangan? Apakah timsel yang dipilih sudah mumpuni secara keilmuan dan sudah melibatkan masyarakat dalam proses pemilihannya? Adel menyarankan penangkapan penyelenggara pemilu di Garut hendaknya menjadi momentum berbenah. Artinya evaluasi harus dilakukan dan diterapkan ke seluruh penyelenggara dari tingkat pusat hingga daerah.

Adapun untuk Panwaslu dan Komisioner KPU Garut yang ditangkap Satgas Anti Politik Uang, Adel mendorong agar proses peradilan dilakukan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) RI. Pengawas pemilu terdiri dari KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan DKPP dimana DKPP sebagai lembaga etik yang kemudian akan mengadili. DKPP perlu didorong agar menanggapi masukan masyarakat terkait permasalahan etik penyelenggara pemilu.

Sepanjang 2016 dan 2017, KoDe Inisiatif melakukan kajian mengenai kasus yang paling banyak ditangani DKPP. Dalil terbanyak yang diajukan kepada DKPP adalah terkait profesional penyelenggara pemilu. Lalu urutan selanjutnya adalah netralitas dan conflict of interest. Ini berarti DKPP sudah memberi warning 3 hal yang harus diwaspadai dari penyelenggara pemilu, maka tahapan mencari penyelenggara pemilu harus diperhatikan oleh timsel dan dijadikan bahan untuk mendapatkan calon-calon penyelenggara yang berkualitas. Pemilih yakni masyarakat Indonesia berhak mendapatkan proses pemilu yang bersih dan berintegritas, bukan pilkada yang dipenuhi catatan warna merah.

Dalam catatan ICW (dapat juga dilihat dalam https://antikorupsi.org/YFg) ada 57 komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Bawaslu/Panwaslu menjadi tersangka korupsi dalam kurun waktu 7 tahun. ICW juga menemukan bahwa masih ada timsel yang berasal dari kader partai politik, mantan calon kepala daerah pilkada, mantan juru bicara calon kepala daerah, dan mempunyai hubungan kekerabatan denagn anggota partai politik. Seharusnya, KPUD dan Bawaslu memperhatikan background kedekatan calon dengan partai atau calon kepala daerah karena akan melahirkan konflik kepentingan penyelenggara dengan peserta calon kepala daerah.

Donal Fariz, peneliti ICW, menambahkan terkait desas-desus dari para politisi untuk mengganti atau mengembalikan sistem pilkada langsung ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hal ini dianggapnya tidak menyelesaikan masalah. Pilkada langsung mempunyai masalah, tetapi pilkada oleh DPRD juga mempunyai masalah. Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang salah bukanlah sistem pilkada, melainkan partainya, aktornya, dan kandidatnya.

Sistem pilkada sudah berulang kali diperbaiki, seperti contohnya subsidi atribut kampanye kepada kandidat. Ini adalah salah satu cara memperbaiki sistem pilkada dengan menekan biaya politik. Akan tetapi cara ini menjadi tidak efektif karena uang di cost politiknya dikurangi, tetapi cost ke partainya malah semakin tinggi. Ini malah menggeser masalah. “Oleh karena itu, sepanjang partai tidak dibenahi, maka sepanjang itu jugalah kita akan gagal menggelar kontestasi pilkada untuk memilih orang terbaik dan menghindarkan kepala daerah dari korupsi”, kata Donal.

Rekomendasi tambahan Donal dari yang sudah disampaikan Fadli dan Adel yakni membuat mekanisme diskualifikasi atau pencopotan calon kepala daerah tersangka korupsi dan juga berbenah bagi penyelenggara pemilu, yakni harus ada sanksi yang dikenakan ke partai politik. Partai politik selama ini seolah lepas tangan dan tidak mau turut bertanggungjawab atas kadernya yang terkena kasus korupsi. Oleh karena itu partai politik seharusnya juga dikenakan sanksi administratif untuk tidak bisa mengusung calon kepala daerah dalam pilkada selanjutnya, jika ada kadernya yang tersangkut kasus korupsi. Sehingga ke depan, partai dapat lebih menyeleksi kader yang berintegritas, tanpa mempertimbangkan elektabilitas dan mahar, demi kerja-kerja bersama masyarakat selama 5 tahun.*** (Dewi)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags