48 Pelaku Korupsi Minta Jadi Justice Collaborator Kepada KPK

Antikorupsi.org, Denpasar, 1 Juni 2016 – Ketika seseorang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka janganlah pernah bermimpi akan lolos dari jeratan hukum. Jikapun berharap mendapatkan keringanan hukuman, salah satu jalannya adalah dengan menjadi saksi pelaku yang mau bekerjasama (justice collaborator).

Agus Rahardjo, Ketua KPK, mengatakan banyak pelaku korupsi yang ditangani KPK mengajukan justice collaborator untuk mendapatkan keringanannamun tidak semuanya bisa dipenuhi.  “KPK banyak dikritik sejumlah pihak karena dinilai pelit memberikan status justice collaborator. Hal ini akibat adanya syarat yang ketat untuk dapat ditetapkan sebagai justice collaborator", ujar Agus.

Agus menjelaskan untuk menjadi justice collaborator di KPK seorang saksi pelaku harus memenuhi syarat antara lain mengakui kejahatannya, bukan pelaku utama, mengembalikan aset atau hasil tindak pidana korupsi kepada negara, kemauan membongkar pelaku atau perkara lain, dan kesediaan memberikan kesaksian di persidangan dan konsisten dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Penjelasan Ketua KPK ini disampaikan dalam Rapat Koordinasi (Rakor) dengan aparat penegak hukum dan pemangku kepentingan untuk pemenuhan hak saksi dan korban di Denpasar, 1 Juni 2016 yang diselenggarakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Berdasarkan data KPK, selama tahun 2015-2016 sebanyak 48 tersangka korupsi yang ditangani komisi anti rasuah ini mengajukan permohonan justice collaborator. Namun tidak semua pengajuan permohonan yang diajukan dipenuhi. Dari 48 permohonan, saat ini baru 11 orang yang diterima pengajuannya sebagai justice collaborator. Selebihnya 26 permohonan ditolak karena tidak memenuhi syarat dan 11 orang permohonannya masih dalam proses dan menunggu konsistensi dalam persidangan.

Dalam catatan antikorupsi.org, sejumlah perkara korupsi yang ditangani KPK terungkap karena peran justice collaborator.  Sebut saja proyek Hambalang dan Wisma Atlet, suap terhadap anggota DPR untuk mendapatkan proyek infrastruktur, suap dana bantuan sosial (bansos) di Provinsi Sumatra Utara, dan suap kepada Hakim PTUN di Medan. Pelaku korupsi yang pernah menyandang status justice collaborator dari KPK antara lain Agus Condro, Wahid Muharam, Kosasih Abbas, Abdul Khoir, Rinelda Bandaso, Yagari Bhastara Guntur, dan M. Nazaruddin.

Adapun bentuk perlindungan yang diberikan oleh KPK terhadap justice collaborator melingkupi perlindungan fisik dan perlindungan hukum. Perlindungan fisik antara lain melakukan pengawasan dan pengawalan penggantian biaya hidup, dan pemindahan ke rumah aman. Sedangkan perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi pelaku yang mau bekerjasama antara lain mendapatkan penasehat hukum, menerima informasi perkembangan perkara dan keringanan tuntutan hukum, dan rekomendasi untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.   

Meski demikian Agus menambahkan bahwa upaya perlindungan yang dilakukan KPK terhadap justice collaborator juga masih mengalami sejumlah hambatan. Hambatan yang dijumpai adalah ketika saksi pelaku yang dilindungi KPK dilaporkan ke aparat penegak hukum lain misalnya dalam kasus pemalsuan surat, keterangan palsu maupun pencemaran nama baik. Tidak sedikit juga justice collaborator yang mengalami ancaman atau gangguan terhadap keselamatan diri dan keluarganya misalnya intimidasi fisik, pengrusakan rumah atau mobil.  

Hal lain yang menurut Agus Raharjo dinilai menghambat adalah adanya ketidaksamaan pandangan dengan hakim yang memeriksa perkara korupsi yang menolak penetapan seorang terdakwa menjadi justice collaborator meskipun sudah disetujui dan diusulkan oleh KPK.

Untuk mengatasi sejumlah masalah tersebut, KPK sudah melakukan sejumlah langkah antisipasi seperti bekerjasama dengan kepolisian untuk melakukan pengawalan terhadap justice collaborator, meminta agar laporan yang disampaikan terhadap justice collaborator yang dilindungi KPK agar ditangguhkan lebih dahulu hingga kasus korupsinya diputus oleh Pengadilan Tipikor. (Emerson)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan