Imunitas Ketua DPR

Setya Novanto, Ketua DPR, yang ditersangkakan (lagi) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam dugaan korupsi KTP-el, akan meminta perlindungan Presiden Joko Widodo jika dipanggil paksa oleh komisi antikorupsi. Menurut advokatnya, pemeriksaan anggota DPR harus seizin Presiden, Kompas.com (13/11).

Anggota DPR memang memiliki imunitas (parliamentary immunity). Wajar saja Novanto mendalilkan bahwa ia, sebagai Ketua DPR, wajib dilindungi dalam jabatannya. Ia kebal dalam statusnya sebagai anggota parlemen. Hanya, apakah kekebalan itu bersifat selamanya?

Imunitas parlemen
Konstitusi Indonesia memang memberikan perlindungan atau hak imunitas bagi anggota Dewan. Hak itu diatur dalam Pasal 20A Ayat (3) UUD 1945. Konstitusi kemudian memerintahkan pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang.

Turunan perintah konstitusi tentang imunitas anggota parlemen dimuat dalam Pasal 224 UU Nomor 17 Tahun 2014. Disebutkan bahwa anggota DPR tidak dapat dituntut hukum karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapatnya, baik secara lisan atau tulisan, sepanjang berkaitan dengan fungsi, wewenang, dan tugasnya, kecuali untuk pembocoran materi rahasia negara.

Anggota DPR juga tidak dapat dituntut hukum atas sikap, tindakan, atau kegiatannya, baik di dalam rapat maupun di luar rapat parlemen semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional personal anggota atau institusional DPR. Bahkan untuk menjamin hak ini, anggota DPR tak dapat diganti antarwaktu.

Jelaslah, konstitusi-dan oleh karena itu juga UU-menghendaki perlindungan bagi anggota parlemen. Akan tetapi, kata “sepanjang berkaitan” dan “semata-mata karena” dalam Pasal 224 UU No 17/2017 menjadi pembatas. Hak konstitusional, kewenangan konstitusional, fungsi (legislasi, anggaran, dan pengawasan), wewenang, serta tugasnya adalah batasan yang dipatok oleh konstitusi dalam melaksanakan imunitas parlemen.

Pesannya adalah kekebalan anggota DPR tidak bersifat abadi, sangat bergantung pada syarat tertentu. Anggota Dewan tidak boleh menggunakan imunitas parlemen dengan sembarangan. Pendek kata, kekebalan anggota Dewan tak bisa dipakai sebagai instrumen untuk melindungi perilaku yang hanya menguntungkan dirinya sendiri dan menyalahgunakan kewenangannya.

Hak imunitas adalah kekuatan yang luar biasa. Akan tetapi, kadang kala di situlah celahnya. Kekuatan yang sangat besar dapat membuat anggota Dewan dengan gagah mengambil imunitas parlemen dan bersuara seakan- akan segala tindakannya kebal, bersikukuh bahwa perlindungan konstitusional secara otomatis ada dalam dirinya selama menjabat sebagai anggota DPR. Melampaui apa pun, tanpa batasan.

Cobaan terhadap pemanfaatan kekuatan imunitas parlemen selalu eksis dalam setiap pelaksanaan parlemen di negara demokratis. Simon Wigley, ilmuwan politik dari Universitas Bilkent, Turki, dalam artikelnya “Parliamentary Immunity: Protecting Democracy or Protecting Corruption?” menyebutkan bentuk-bentuk potensi menyimpang dari imunitas parlemen.

Misalnya, menjalankan aktivitas yang terindikasi korupsi. Menerima suap atas semua pernyataan, pertanyaan, atau keputusan yang disampaikan, berbuat nepotis, kolusi, perdagangan gelap, dan sebagainya. Atau bertingkah laku dalam koridor yang ilegal, seperti melakukan fitnah, menyampaikan ujaran kebencian, menggunakan narkoba, hingga berkendara dalam keadaan mabuk. Imunitas parlemen tidak bisa melindungi anggota Dewan dari perbuatan-perbuatan yang demikian.

Ketentuan hukum
Teknis prosedural untuk melindungi anggota parlemen-juga sebagai bentuk pelaksanaan imunitas parlemen-diatur dalam Pasal 224 Ayat (5) UU No 17/2014. Pasal itu mengatur pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus seizin Majelis Kehormatan Dewan (MKD).

Izin MKD diperlukan hanya untuk anggota Dewan yang sudah diduga sebagai pelaku pidana saja. Sudah ditetapkan tersangka. Jika hanya dipanggil sebagai saksi, maka tak perlu izin.

Setiap orang, termasuk anggota DPR, harus memenuhi panggilan apabila diminta bersaksi atau dimintai keterangan sebagai saksi, kecuali ditentukan lain atau tertolak untuk itu. Menolak bersaksi adalah sebuah tindak pidana.

Perlindungan terhadap anggota Dewan juga diatur dalam Pasal 245 UU No 17/2014. Penyidik harus mendapatkan izin tertulis dari MKD terlebih dahulu apabila ingin memanggil dan meminta keterangan dari anggota Dewan yang diduga melakukan tindak pidana. Ketentuan izin tertulis dari MKD tak berlaku apabila anggota parlemen telah tertangkap tangan, melakukan tindak pidana khusus, dan/atau tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup.

Ketentuan izin dari MKD-bukan ketentuan status anggota DPR sebagai terduga tindak pidana maupun sebagai saksi-dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 76/PUU-XII/2014. Pertimbangan hukum majelis dalam putusan, pada pokoknya, berisi dua hal. Pertama, izin MKD digeser menjadi izin Presiden dengan asumsi dasar checks and balances antarcabang kekuasaan. Kedua, izin yang tertuang dalam Pasal 245 berlaku juga untuk Pasal 224 Ayat (5) UU No 17/2014.

Dapat dibaca bahwa putusan MK-yang diputuskan dengan final dan mengikat-setidaknya, mengindikasikan dua hal utama. Pertama, untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana umum, bukan sebagai saksi, penyidik harus mendapatkan izin tertulis dari Presiden. Kedua, untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana khusus, bukan sebagai saksi, maka tidak perlu izin Presiden.

Dengan demikian, konsep imunitas parlemen (parliamentary immunity), saling awas dan saling imbang dalam pelaksanaan kekuasaan negara (check and balance), dan jaminan atas persamaan hak hukum (equality before the law) memiliki korelasi dan batas-batas yang rasional. Ketua DPR dilindungi dan kebal hukum atas semua pernyataan dan perilakunya sepanjang terkait dengan hak, konstitusionalitas, fungsi, kewenangan, dan tugas representatif-legislatifnya.

Namun, ketua DPR tidak kebal hukum apabila ia melakukan tindak pidana, terlebih tindak pidana khusus (extraordinary crime), semisal korupsi. Penyidik tidak perlu meminta izin Presiden. Begitulah semestinya jika memutuskan untuk bernegara hukum, kecuali mulai berpikir untuk bernegara tanpa hukum.

Hifdzil Alim, Ketua LPBH NU DIY; Peneliti di Pukat FH UGM

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 16 November 2017
 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan