Anticorruption Line: Aryanto Sutadi Do Not Enter
- Jangan Biarkan KPK Tersandera Oleh Calon Pimpinan yang Bermasalah -
Setelah berulangkali mengalami pengunduran waktu, Komisi III DPR akhirnya mulai melakukan uji kelayakan atau fit & proper test 8 calon pimpinan KPK pada 28 bovember 2011 lalu. Jika tak lagi tekendala suatu masalah maka awal desember ini 4 pimpinan KPK akan terpilih untuk mendampingi Busro Muqoddas.
Sejauh ini menurut pemantauan sementara koalisi masyarakat sipil terhadap uji kelayakan tersebut, setidaknya terdapat satu capim KPK yaitu Aryanto Sutadi yang terus secara konsisten megeluarkan pernyataan-pernyataan yang bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang tengah dibangun oleh KPK. Setidaknya terdapat
Pada saat uji kelayakan, paling tidak Koalisi mencatat 6 pernyataan Aryanto Sutadi yang bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi, diantaranya; Pertama, mengakui bahwa manipulasi data LHKPN adalah perbuatan melanggar hukum namun capim menyatakan itu karena kesulitan mengisi form isial LHKPN, disamping itu banyak pejabat negara yang tidak jujur dalam pengisian LHKPN. Intinya Capim beranggapan bahwa LHKPN hanya membuat orang munafik.
Patut dicatat bahwa aryanto sutadi baru dua kali melaporkan LHKPN, yaitu pada saat dirinya menjabat direktur pidana khusus mabes polri 31 mei 2001 dan pada saat menjadi Deputi bidang pengkajian dan penanaganan sengketa dan konflik pertanahan BPN Ri pada 17 maret 2011.
Kedua, Mentoleransi gratifikasi karena dianggap budaya bangsa. Capim beranggapan bahwa gratifikasi memang dilarang sesuai UU Tipikor pasal 12 namun harus diakui pada sisi lain ada gratifikasi yang memang dianggap sebagai budaya bangsa dan tidak bisa dihindari.
Ketiga, Capim mengakui bahwa sampai saat ini meski tidak lagi menduduki jabatan public tapi masih dikirimi parcel/hadiah/bingkisan. Capim tidak mengembalikan karena pengirim tidak menulis alamat pada parcel/hadiah/bingkisan.
Keempat, Tidak jujur atau menolak untuk menjelaskan secara rinci berapa jumlah sebenarnya kepemilikan harta kekayaan yang dimiliki. Capim menyatakan banyak yang harus diluruskan tentang harta kekayaannya dan Capim tetap tidak mau terbuka berapa sebenarnya harta yang dimiliki.
Kelima, Mengakui bahwa Capim memang memiliki pekerjaan sebagai konsultan hukum perusahaan semenjak dirinya masih di Kepolisian. Menurutnya pekerjaan sampingan bukan sebuah perbuatan dilarang.
Selain pernyataan-perntaan yang kontroversial tersebut, Aryanto Sutadi juga memiliki latar belakang yang bertentangan dengan komitmen pemberantasan korupsi yaitu dirinya pernah menjadi pembela terdakwa korupsi Rusdiharjo (Mantan Kapolri dan mantan Dubes RI di Malaysia).
Rusdiharjo dijatuhi vonis 2 tahun penjara, denda 100 juta subside 6 bulan oleh majelis pengadilan tipikor karena dinilai secara sah dan meyakinkan telah memenuhi unsur-unsur yang didakwakan dalam dakwaan subside pasal 3 jo pasal 55 ayat 1 (1) jo pasal 64 ayat 1 KUHP karena melakukan korupsi biaya pengurusan dokumen keimgrasian.
Capim KPK yang memiliki rekam jejak buruk sangat berbahaya kemudian terpilih menjadi pimpinan KPK. Pemberantasan korupsi yang selama ini cukup berhasil dilakukan KPK akan terancam karena tersandera oleh pimpinannya sendiri. Oleh karena itu sangat penting bagi seluruh masyarakat untuk ikut mendesak DPR agar tidak berkomitmen pada pemberantasan korupsi dan tidak terjebak transaksi politik demi melindungi diri, partainya, koleganya dari jeratan KPK di masa yang akan datang.
Maka dari itu, kami mendesak agar;
- DPR tidak memilih Aryanto Sutadi sebagai pimpinan KPK
- DPR tidak memaksakan untuk memilih Polisi dan Jaksa
- KPK harus memantau prosesnya, pastikan tidak ada money politik dalam proses seleksi KPK
1 Desember 2011
ANTICORRUPTION LINE:
Transparency International Indonesia (TII), ICW, Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi FHUI), Indonesian Legal Rountable (ILR), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN).
No. |
Nama Capim |
Informasi |
|
1. |
Aryanto Sutadi (Polisi) |
Dalam sesi wawancara dengan peneliti, calon mengakui LHKPN yang dilaporkam saat itu sepenuhnya hasil rekayasa.â€Tidak saya laporkan semua. Kalau saya laporkan semua LHKPN Pak Kapolri bisa saya kalahkan,†ujarnya. Menurutnya saat itu terjadi kesepakatan di Mabes Polri bahwa laporan LHKPN besarannya dibuat seragam sesuai dengan tingkatan.â€Kalau tidak salah Pak Kapori itu Rp. 5 miliar. Wakilnya Rp. 4 miliar. Kabareskrim Rp. 3 miliar. Wakabareskrim Rp. 2 miliar. Kalau saya waktu itu Direktur, jadi tidak boleh diatas Rp1,5 miliar. Itu melatih munafik namanya,†ujarnya. Salah satu yang tidak dilaporkan adalah rumah di daerah Kemang, Jakarta Selatan.
Dalam Sesi Wawancara, calon memaklumi kekayaan Para Jenderal dengan jumlah Rp. 10 Miliar. Menurutnya, Jenderal yang memiliki kekayaan hingga Rp. 10 Miliar masih dianggap wajar. Calon mengungkapkan itu dapat terjadi karena Polisi memiliki Usaha sampingan. Pernyataan ini mengkonfirmasi dugaan bahwa Jenderal Polisi seringkali menggunakan kekuasaannya untuk memuluskan usahanya.
Dalam sebuah wawancara peneliti pada saat tracking, yang bersangkutan menyebutkan bahwa â€Saya sih gak pernah memeras. Meminta. Tapi kalau diberi saya terima,†ujarnya. Menurutnya budaya menerima barang atau uang dari pihak berperkara telah membudaya di Polri.â€Semua melakukan itu,â€. Saya dulu pernah terima televisi 61 inci entah dari siapa. Setiap tahun sekarang ini pasti ada parsel ke rumah saya sampai 100 buah,†ujarnya.
a) Terdapat sejumlah bukti kuat bahwa memang adanya dugaan pemalsuan tanda-tangan pemilik HPH (berdasarkan bukti: Laboratorium Forensik Mabes Polri, yang menyimpulkan bahwa tanda-tangan TINI LIEM (pemilik HPH) tidak identik seperti yang ada dalam surat palsu tersebut, tanggal 3 Oktober 2001 dan dikirim ke Reskrim Mabes Polri 8 Oktober 2001); serta sejumlah Akta yang yang dibuat dengan dasar surat dengan tandatangan palsu tersebut. b) Penghentian penyidikan diduga tidak dilakukan dengan proses yang benar, karena belum ada koordinasi atau eksposes dengan JPU, padahal SPDP sudah dikirim pada Kejaksaan tanggal 2 Agustus 1999.
|
|
Pernyataan Saat Uji Kelayakan |
|||
1. Menolak untuk menjelaskan kepemilikan harta kekayaan yang dimiliki |
|||
2. Mentoleransi gratifikasi karena dianggap budaya bangsa |
|||
3. Masih menerima parsel meski sudah tidak menjabat jabatan public (tidak mengembalikan dengan alasan tidak tahu alamat pengirimnya |
|||
4. mengakui bahwa manipulasi data LHKPN adalah pelanggaran hukum |
|||
5. Mengakui menjadi konsultan hukum selama menjadi anggota kepolisian |
|||