Tersangka kasus dugaan korupsi KTP-El, Setya Novanto, yang juga Ketua DPR RI telah resmi mendaftarkan permohonan Praperadilan untuk kedua kalinya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (15/11) lalu. Adapun sidang perdana dari permohonan Praperadilan Novanto ini rencannya akan digelar pada hari Kamis, (30/11) mendatang. Upaya praperadilan jilid kedua menjadi babak lanjutan dan menentukan dari penanganan kasus korupsi KTP-El pasca penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan yang dilakukan KPK terhadap Novanto.
Meski sudah menjadi tersangka kasus mega korupsi KTP Elektronik dan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setya Novanto bersikukuh enggan mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar.
Melalui surat, pada Selasa (21/11) lalu, Setya meminta DPP Partai Golkar dan pimpinan DPR tidak membahas pemberhentian dirinya sebagai Ketua Umum Golkar ataupun Ketua DPR dan memberinya kesempatan untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Hukum profetik adalah hukum yang bersukma keadilan dan melindungi martabat kemanusiaan. Ia berdimensi transendental dan memiliki tali sumbu nilai dengan kebenaran hakiki dan terkait struktur rohani masyarakat beradab. Sebagai konstitusi kehidupan umat manusia yang substansinya bersumber nilai ilahiah, hukum profetik diperuntukkan bagi bangsa manusia yang memberikan transformasi nilai kebajikan.
Empat tahun lalu, 12 kementerian dan lembaga menandatangani nota kesepakatan bersama yang menjadi embrio lahirnya Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA). Ini fondasi bagi upaya pencegahan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sektor sumber daya alam.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menahan Ketua DPR RI, Setya Novanto (SN) di rumah tahanan KPK pada 19 November 2017, tengah malam. Penahanan ini dilakukan setelah sebelumnya SN sempat dibantarkan (ditunda penahanannya) akibat kecelakaan yang dialami di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi melakukan penahanan terhadap tersangka dugaan korupsi KTP Elektronik, Setya Novanto. Penahanan akan dilakukan setidaknya selama 20 hari kedepan dan dapat diperpanjang dalam rangka melakukan penyidikan.
Mahkamah Agung (MA) kembali menjadi pergunjingan, pasalnya seleksi nasional calon hakim tahun 2017 diwarnai dengan isu adanya pungutan liar (pungli) kepada para peserta seleksi. Tak tanggung-tanggung angka Rp 600-650 juta yang harus dibayarkan para peserta kepada oknum yang diduga pegawai pengadilan agar dapat lolos seleksi. Tak urung, penundaan pengumuman yang sejatinya dilakukan 31 Oktober menjadi 3 November 2017 dikaitkan dengan upaya rekayasa untuk meloloskan para peserta yang telah membayar pungli.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik pada 10 November lalu. Setya dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) sub Pasal 3 UndangUndang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman penjara paling lama 20 tahun. Ini menjadi episode baru dari penanganan kasus korupsi KTP elektronik setelah putusan praperadilan sebelumnya yang telah menggugurkan status tersangka Setya.
Setya Novanto, Ketua DPR, yang ditersangkakan (lagi) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam dugaan korupsi KTP-el, akan meminta perlindungan Presiden Joko Widodo jika dipanggil paksa oleh komisi antikorupsi. Menurut advokatnya, pemeriksaan anggota DPR harus seizin Presiden, Kompas.com (13/11).
Anggota DPR memang memiliki imunitas (parliamentary immunity). Wajar saja Novanto mendalilkan bahwa ia, sebagai Ketua DPR, wajib dilindungi dalam jabatannya. Ia kebal dalam statusnya sebagai anggota parlemen. Hanya, apakah kekebalan itu bersifat selamanya?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk tersangka korupsi pengadaan KTP-El, Setya Novanto. Dini hari lalu tim penyidik KPK juga telah mendatangi kediaman Novanto untuk melakukan penangkapan, namun yang bersangkutan tidak diketahui keberadaannya sampai saat ini.