Erving Goffman dalam teori dramaturginya melihat kehidupan sosial layaknya panggung teater. Ada aktor utama, penonton, naskah, dan panggung depan serta belakang. Demokrasi Indonesia hari ini persis seperti itu. Elite tampil gagah di depan publik dengan jargon “kedaulatan rakyat”, sementara di belakang layar sibuk berbagi proyek. Rakyat hanya diminta ke bilik suara sebagai figuran, sementara aparat menjadi penjaga panggungnya.
Demokrasi Indonesia berada di persimpangan jalan yang mengkhawatirkan. Apa yang kita saksikan hari-hari ini bukanlah sekadar dinamika politik biasa, melainkan sebuah regresi atau kemunduran sistematis yang mengancam pilar-pilar fundamental yang telah susah payah dibangun sejak era Reformasi. Berbagai indikator menunjukkan bahwa kualitas demokrasi kita terus menurun, sebuah tren yang didorong oleh tindakan pemerintah dan manuver elit politik yang lebih mengutamakan kepentingan kekuasaan pragmatis ketimbang prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
“Korupsi punya andil besar dalam merampas hak hidup orang. Ia merampas begitu banyak kemampuan untuk melayani kehidupan masyarakat.” Demikian tegas Mas Alvin dari Transparency International Indonesia (TII) pada kuliah umum yang saya ikuti. Ia mengingatkan saya pada destruktifnya daya rusak di balik tindak korupsi. Saya menyadari bahwa korupsi menghasilkan monetary loss.
Kondisi politik di Indonesia saat ini dapat dipahami sebagai “permainan elite”, di mana permainan ini hanya dikuasai oleh elite-elite semata. Representasi dalam pemerintahan merupakan sebatas formalitas dan topeng untuk mengelabui rakyat. Tak hanya itu, minimnya representasi dari setiap kelompok masyarakat menambah bukti bahwa politik di Indonesia merupakan permainan mereka.
Negara yang seharusnya menjadi penopang keadilan dan kehormatan rakyat kini retak oleh praktik kekuasaan yang menggerogoti nurani publik. Negara yang secara formal mengakui Pancasila justru memperlihatkan borok-boroknya. Ritual kebrutalan yang sistematis berubah menjadi jalan gelap pemerintah dalam mengelola negara. Demokrasi di Indonesia semestinya menyediakan ruang dialog, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Namun, realitasnya kerap dikebiri oleh kekuasaan yang memonopoli narasi.
Demokrasi di Indonesia hari ini bukan lagi “suara rakyat, suara Tuhan,” melainkan “suara rakyat, suara tuan.”Sebab, yang lebih sering didengar bukanlah aspirasi rakyat kecil, melainkan kepentingan para tuan besar—elite politik, oligarki, dan pemilik modal. Dewasa ini, demokrasi kerap dipahami sebatas prosedur elektoral: rakyat datang ke TPS setiap lima tahun sekali untuk memilih pemimpin, lalu kembali bungkam setelahnya.
Dorongan agar RUU Perampasan Aset segera dibahas kembali menguat—tetapi arah akhirnya belum pasti.Hingga hari ini (4 September 2025), RUU ini belum disahkan. Pimpinan dan Baleg DPR menyebut draf perlu diperbarui karena berpotensi berbenturan dengan UU Tipikor dan UU TPPU; bahkan ada opsi DPR mengambil alih inisiatif agar pembahasan lebih cepat setelah RUU KUHAP rampung. Intinya: masih tarik-uluran, bukan keputusan.
Seandainya ada lomba internasional tentang kreativitas menghilangkan uang negara, barangkali Indonesia pantas menyabet medali emas, perak, dan perunggu sekaligus. Bayangkan, baru berjalan sembilan bulan di tahun 2025, deretan kasus korupsi sudah menembus angka fantastis: Rp1.588,361 triliun. Angka itu bukan salah ketik, bukan juga angka dalam proposal proyek jalan tol imajiner. Itu nyata.
Indonesia Corruption Watch (ICW) berkolaborasi dengan dua fotografer dalam Jakarta International Photography Festival (JIPFest) yang berlangsung pada 12–21 September 2025 di Galeri S. Sudjojono, Taman Ismail Marzuki. Festival fotografi berskala internasional ini diikuti oleh 21 seniman dan 30 negara, menampilkan lebih dari 300 karya visual, 12 program, 62 bintang tamu, dan dihadiri lebih dari lima ribu pengunjung dari berbagai negara, termasuk Indonesia, Jerman, Korea Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat.
Presiden Prabowo dalam World Government Summit 2025 menyebut korupsi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Pernyataan ini sejalan dengan banyaknya kasus yang merugikan negara triliunan rupiah di berbagai sektor, seperti kasus Jiwasraya, Asabri, Duta Palma, hingga Timah. Mega korupsi terbaru yang dibongkar penegak hukum adalah korupsi di Pertamina tahun 2018-2023 dengan potensi kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun hanya pada 2023.