Ketika Demokrasi Jadi Panggung, Rakyat Hanya Figuran
Erving Goffman dalam teori dramaturginya melihat kehidupan sosial layaknya panggung teater. Ada aktor utama, penonton, naskah, dan panggung depan serta belakang. Demokrasi Indonesia hari ini persis seperti itu. Elite tampil gagah di depan publik dengan jargon “kedaulatan rakyat”, sementara di belakang layar sibuk berbagi proyek. Rakyat hanya diminta ke bilik suara sebagai figuran, sementara aparat menjadi penjaga panggungnya.
Ironinya, panggung demokrasi ini semakin jauh dari esensinya. Fakta di lapangan menunjukkan panggung ini penuh represi. Demokrasi akhirnya berhenti sebagai seremoni lima tahunan, jauh dari partisipasi rakyat yang sejati. Jika rakyat terus diposisikan sebagai figuran, demokrasi tak lebih dari sandiwara politik tanpa makna.
Demokrasi Hanya Sebatas Seremoni
Indonesia sering disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Kita punya pemilu reguler, partai politik banyak, dan kebebasan pers yang konon dijamin undang-undang. Namun, realitas di lapangan tidak seindah itu. Demokrasi di negeri ini sering berhenti pada seremoni lima tahunan dengan pencoblosan dalam pemilu. Rakyat hadir di bilik suara, lalu kembali pulang dengan perasaan lega seakan-akan tugasnya sudah selesai. Setelah itu, panggung kembali dikuasai elite politik yang sibuk membagi posisi dan kepentingan.
Kedaulatan rakyat memang disebut-sebut dalam konstitusi, tetapi dalam praktiknya hanya sebatas jargon. Demokrasi yang seharusnya menghidupkan partisipasi publik setiap hari berubah jadi ritual formalitas. Rakyat diperlihatkan seolah-olah ikut berperan, padahal perannya hanya kecil, sebatas figuran dalam drama besar kekuasaan.
Elite Mengatur, Aparat Menjaga
Wajah demokrasi kita semakin jelas ketika rakyat mencoba bersuara lebih keras. Demonstrasi mahasiswa atau aksi masyarakat sipil sering direspons dengan pagar kawat, barikade aparat, bahkan gas air mata. Komnas HAM mencatat 951 hingga 1.683 orang ditahan aparat hanya dalam kurun 25–31 Agustus 2025, sementara Amnesty International Indonesia melaporkan jumlahnya bahkan mencapai 1.821 orang. Tidak hanya itu, 68 orang mengalami kekerasan fisik, dan 202 lainnya terkena gas air mata.
Alih-alih dilindungi, rakyat justru dihadapkan pada aparat yang menjadi tameng elite. Kritik publik diperlakukan sebagai ancaman, bukan masukan. Demokrasi akhirnya berubah menjadi panggung sandiwara yang teratur. Gambarannya demikian: elite sebagai pemain utama dan penulis naskah, aparat menjaga panggung, sementara rakyat tetap sebagai pemain figuran. Kritik boleh dilontarkan, tetapi jangan terlalu keras. Protes boleh dilakukan, asal tidak mengganggu kenyamanan para pemain utama.
Kedaulatan Rakyat yang Tergadaikan
Seharusnya, rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan. Namun, dalam kenyataan, suara rakyat kalah oleh kekuatan uang. Lobi-lobi politik di hotel berbintang lebih menentukan arah kebijakan daripada diskusi rakyat di balai desa. Anggaran yang mestinya untuk kepentingan publik kerap tergelincir jadi proyek absurdnya elite.
Ketidakpuasan rakyat pun kadang meledak. Aksi massa di berbagai daerah bahkan berujung pada peristiwa tragis, seperti pembakaran gedung DPRD Makassar yang menewaskan tiga orang. Peristiwa ini menjadi simbol betapa jauhnya jarak antara elite dan rakyat. Demokrasi yang seharusnya mendekatkan keduanya justru makin memperlebar jurang. Kedaulatan rakyat tergadai pada segelintir elite yang mengendalikan panggung politik dengan modal dan kekuasaan.
Represi Dibungkus Narasi Stabilitas
Ironisnya, setiap kali rakyat menuntut haknya, mereka sering mendapat cap negatif. Kritik dipelintir jadi ancaman terhadap keamanan. Demonstrasi dipandang sebagai upaya merusak pembangunan. Padahal, demokrasi yang sehat justru tumbuh karena adanya ruang kritik. Sayangnya, narasi stabilitas lebih sering dipakai untuk membungkam ketidakpuasan rakyat.
Represi itu nyata. Komnas HAM mencatat 10 orang meninggal selama aksi 25–31 Agustus, diduga kuat akibat kekerasan aparat. Bahkan, pengemudi ojek online Affan Kurniawan tewas setelah ditabrak kendaraan taktis Polri, sementara media internasional melaporkan 20 orang hilang selama demonstrasi berlangsung. Gas air mata bahkan ditembakkan hingga ke lingkungan kampus, menimpa mahasiswa Universitas Islam Bandung dan Universitas Pasundan. Semua ini menunjukkan bahwa yang dijaga bukan ketertiban rakyat, melainkan kenyamanan elite yang ketakutan menghadapi protes.
Membongkar Panggung, Mengambil Peran
Demokrasi tidak boleh berhenti menjadi panggung elite yang menempatkan rakyat sekadar figuran. Demokrasi sejati lahir ketika rakyat berani mengambil peran utama. Partisipasi tidak cukup diwujudkan lewat pencoblosan lima tahunan, melainkan juga melalui keterlibatan aktif dalam mengawasi kebijakan, mengkritisi jalannya pemerintahan, dan mendorong keterbukaan anggaran publik.
Aliansi masyarakat sipil harus terus menjaga ruang partisipasi ini. Jika represi dijadikan kebiasaan, maka solidaritas publik perlu lebih kuat untuk melawannya. Namun, perjuangan ini juga harus dijalankan dengan bijak, tanpa terjebak pada provokasi pihak-pihak yang ingin memanfaatkan keresahan rakyat demi kepentingan sesaat. Hanya dengan kesadaran itu rakyat bisa naik ke panggung, merebut naskah, dan berhenti menjadi figuran dalam drama besar bernama demokrasi.
Penulis,
Ramanda Bima Prayuda
Mahasiswa Ilmu Politik UNNES
*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi September 2025