Perlahan, namun pasti, efek buruk dari berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 semakin menguntungkan pelaku korupsi. Selain proses penindakan yang kian melambat, kali ini KPK justru menghentikan perkara besar dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Adapun perkara yang dihentikan oleh KPK adalah dugaan tindak pidana korupsi atas penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK kembali melakukan tindakan kontroversial. Setelah aksi Ketua KPK, Firli Bahuri, memasak nasi goreng pada awal tahun 2020, dilanjutkan dengan membagi-bagikan bantuan sosial bersama mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara, kini lembaga anti rasuah itu malah mengunjungi lembaga pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin untuk melakukan sosialisasi pencegahan korupsi kepada para napi koruptor. Tindakan ini sangat tidak berdasar dan justru memutar-balikkan logika pencegahan pemberantasan korupsi.
Pekan lalu, mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, dan menantunya, Rezky Herbiyono, dijatuhi vonis 6 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta akibat praktik korupsi yang dilakukan oleh keduanya. Hakim beranggapan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 49,5 miliar. Namun, sayangnya, putusan ini bertolakbelakang dengan ekspektasi publik yang menginginkan terdakwa dijatuhi vonis maksimal atau pidana penjara seumur hidup.
Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim terhadap terdakwa perkara korupsi lambat laun kian menjauh dari pemberian efek jera. Kalimat itu bukan tanpa dasar, sejak tahun 2005 Indonesia Corruption Watch (ICW) telah melakukan pemantauan atas vonis-vonis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung, hasilnya selalu mengecewakan. Rata-rata vonis yang dijatuhkan selalu ringan. Pertanyaan pun muncul: seberapa serius lembaga kekuasaan kehakiman memandang kejahatan korupsi?
Untuk kesekian kalinya masyarakat mesti merasakan dampak korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik. Sebagaimana diketahui pada awal Desember lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil membongkar praktik korupsi pengadaan paket bantuan sosial (bansos) sembilan bahan pokok untuk warga terdampak pandemi Corona Virus Disease 19 (Covid-19) di Kementerian Sosial (Kemensos).
KPK telah menetapkan Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Angin Prayitno Aji dan Kepala Subdirektorat 1 Kerja Sama Dukungan Pemeriksaan, Dadan Ramdani sebagai tersangka. Penetapan tersangka sepatutnya menjadi momentum untuk menuntaskan skandal-skandal perpajakan.