Opentender.net, membantu publik Indonesia menyoroti anomali dalam transaksi pemerintah
Pada tahun 2015, petugas Kepolisian Nasional Republik Indonesia menangkap dua orang pejabat pemerintah dan dua orang anggota DPRD DKI Jakarta terkait dengan korupsi pengadaan unit pemasok daya (UPS) ke sekolah-sekolah di seluruh Jakarta senilai Rp330 miliar (USD23 juta). Gubernur DKI Jakarta melaporkan kasus ini ke kepolisian setelah menerima informasi dari organisasi masyarakat sipil (OMS) Indonesia Corruption Watch (ICW). Kecurigaan peneliti ICW muncul setelah opentender.net, platform pemantauan risiko korupsi pengadaan milik ICW, menunjukkan bahwa tujuh dari sepuluh pengadaan paling berisiko di Provinsi DKI Jakarta tahun 2014 berkaitan dengan proyek yang kemudian dikenal sebagai kasus UPS ini. Penelusuran lebih jauh mengungkap data bahwa unit-unit UPS dibeli pada harga 300% lebih mahal dari harga pasar. Lembaga yang berwenang pun menindaklanjuti laporan. Menimbang penegakan hukum antikorupsi di Indonesia yang secara umum lemah, ICW amat mengapresiasi keputusan petugas kepolisian untuk menahan para tersangka. Salah satu di antara mereka, seorang pejabat di Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat, diputus bersalah atas tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Ia divonis lima tahun penjara dan sebagian asetnya disita oleh negara.
Perkara korupsi UPS di atas hanyalah satu dari pelbagai kasus lain yang terungkap berkat platform opentender.net. Dikembangkan oleh ICW dengan dukungan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), opentender.net dilengkapi dengan perangkat analitik yang mudah digunakan, sehingga siapa pun bisa melihat risiko korupsi dan indikator lain terkait dengan kinerja pengadaan barang/jasa (PBJ) pemerintah—seperti indikator mengenai kompetisi, efisiensi, dan nilai manfaat uang.
ICW menggunakan opentender.net untuk mengidentifikasi kegiatan tender yang perlu ditelisik lebih jauh (sebagaimana yang terjadi pada kasus UPS) atau untuk mengonfirmasi bukti-bukti yang didapatkan dari sumber lain. Sebagai contoh adalah saat seorang whistleblower melaporkan korupsi pembuatan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) kepada ICW; ICW dapat menyocokkan laporan tersebut dengan informasi dari basis data ICW yang menggabungkan data pengadaan dari berbagai sumber resmi dan dari berbagai tahap PBJ. ICW kemudian memberikan peringatan kepada menteri yang bertanggung jawab atas perencanaan PBJ, yaitu Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, namun kontrak pembuatan e-KTP tetap berlangsung. Kasus ini berlanjut dengan tahap penyidikan oleh petugas berwenang yang kemudian mengungkap keterlibatan puluhan anggota parlemen dan pejabat pemerintah, serta diperkirakan menimbulkan kerugian negara senilai Rp2,3 triliun (lebih dari USD161 juta). Pada tahun 2017, Ketua DPR RI Setya Novanto divonis 16 tahun penjara. Dalam persidangan, Setya Novanto menyebutkan nama-nama menteri yang diduga turut mendapatkan keuntungan dari tindak korupsi ini, termasuk Gamawan Fauzi yang menyangkal tuduhan itu. Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) terhadap pengadaan e-KTP masih berjalan hingga saat ini.
Belakangan ini, ICW tengah mencermati pengadaan alat medis terkait dengan upaya penanggulangan pandemi. ICW mencatat bahwa sejumlah kontrak pengadaan diberikan kepada perusahaan tanpa pengalaman. Hal ini diketahui berdasarkan data yang dipublikasikan di opentender.net tentang riwayat perusahaan penyedia di bidang PBJ. Dengan menggunakan data dari sumber berbeda, ICW juga menemukan bahwa 14% dari kontrak yang diberikan dengan metode pengadaan langsung memiliki nilai yang melampaui batas maksimal yang diperbolehkan untuk penggunaan metode ini. Selain itu, tenaga kesehatan yang menangani pasien COVID-19 hanya mendapatkan sebagian kecil alat pelindung diri (APD) dari pemerintah pusat dibandingkan kebutuhan, dan alat kesehatan tidak didistribusikan ke provinsi-proinsi dengan angka kasus positif tertinggi.
Pada bulan April 2021, ICW meluncurkan versi baru opentender.net—kini diperkaya dengan fitur-fitur baru dan data terstruktur yang dipublikasikan sesuai dengan format data keterbukaan PBJ pemerintah yang diakui secara internasional.
Opentender.net versi 3.1 kini juga memiliki indikator risiko yang lebih lengkap untuk membantu deteksi risiko dan inefisiensi dengan lebih akurat.
Indikator risiko lama – Indikator risiko baru
Nilai kontrak - Durasi antara tanggal pengumuman tender dan penandatanganan kontrak
Nilai manfaat uang - Jumlah karakter pada judul tender
Waktu pengumuman tender - Jumlah karakter pada deskripsi tender
Pemenang tender yang berulang
Jumlah penawaran (dihapuskan pada versi 3.1, sumber data tidak lagi tersedia)
Dengan dashboard baru, pengguna kini dapat memantau tiga kategori besar belanja pengadaan: PBJ nasional, PBJ terkait pandemi COVID-19, dan PBJ infrastruktur.
Di tiap-tiap dashboard, pengguna dapat melihat tren tertentu, seperti kuantitas dan nilai PBJ per bulan, kompetisi, efisiensi lembaga, integritas, dan nilai manfaat uang.
Opentender.net juga kini memiliki dataset baru untuk pengadaan yang dilakukan menggunakan metode e-purchasing (untuk barang, pekerjaan, dan jasa yang tercantum di katalog elektronik).
Bagi peneliti dan pengguna lain yang mungkin membutuhkan analisis data tingkat lanjut, opentender.net memiliki fitur data terstruktur sesuai dengan format Open Contracting Data Standard (OCDS). Dengan format ini, pengguna platform dapat mengakses data lebih dari 500 pemerintah daerah dan K/L nasional, platform berbeda, serta data dari tahap-tahap PBJ dengan mudah di satu tempat.
Data mengenai tahap-tahap PBJ tersebar di lebih dari tujuh situs berbeda. Opentender.net menyatukan data-data ini dalam satu format standar.
Saat ini, ICW tengah menyusun indikator risiko untuk dataset baru, yaitu pengadaan yang menggunakan metode nonkompetisi (pengadaan langsung dan penunjukan langsung), serta tengah menyempurnakan data, analitik, dan siklus umpan balik data yang terintegrasi agar pemantauan PBJ pemerintah semakin mudah dilakukan.
Telah banyak kemajuan yang dicapai ICW dalam upaya pemantauan PBJ pemerintah sejak tahun 2010, ketika ICW pertama kali meluncurkan hasil penelitian terhadap risiko korupsi PBJ pemerintah dalam bentuk dokumen Excel—menggunakan data yang dikumpulkan ICW secara manual dari layanan sistem pengadaan elektronik (LPSE) pemerintah.Pada tahun 2012, ICW mulai menyajikan temuannya kepada LKPP; kolaborasi kedua lembaga ini pun dimulai dan platform Opentender resmi diluncurkan pada tahun 2013.
Saat ini, ICW dan LKPP bekerja sama melatih OMS daerah dan jurnalis dari media lokal untuk melakukan investigasi terhadap ketidakwajaran PBJ di daerahnya. Salah satu kegiatan kerja sama ini melibatkan jurnalis dan peneliti dari OMS di DI Yogyakarta.
Kerja sama jurnalis-OMS ini memungkinkan mereka untuk saling melengkapi. OMS memiliki akses dan waktu untuk mendapatkan data anggaran, ataupun informasi lain, sementara jurnalis dapat melaporkan temuan peneliti untuk khalayak yang lebih luas. Setelah timbul perhatian publik, OMS dapat mendekati pemerintah dengan membawa rekomendasi yang lebih mendalam tentang perlunya melakukan reformasi. Pendekatan ini telah membantu terungkapnya berbagai isu, seperti dalam proyek pembangunan gedung untuk relokasi pedagang kaki lima di Malioboro. Proyek ini menggunakan metode tender cepat untuk menunjuk kontraktor pembangunan gedung, meskipun metode ini seharusnya hanya digunakan untuk proyek berskala kecil. Investigasi mengungkap bahwa perusahaan di dua dari tiga kontrak pembangunan gedung dikendalikan oleh orang yang sama, dan hal ini menunjukkan kemungkinan kolusi. Pemerintah DI Yogyakarta kemudian secara terbuka mengakui bahwa tender proyek melanggar ketentuan. Tim investigasi mungkin tidak dapat membuktikan adanya korupsi proyek, tetapi sangat mungkin mereka telah mencegah agar modus serupa tidak terulang kembali.
Diterbitkan di Blog Open Contracting Partnership, 19 Jul 2021
oleh Sophie Brown