Penegak hukum mulai saat ini mulai memperlebar spektrum penanganan kasus korupsi dengan mengenakan pasal pidana pencucian uang. Hal tersebut dapat ditelisik berdasarkan hasil pemantauan tren penindakan kasus korupsi yang Indonesia Corruption Watch (ICW) lakukan medio 1 Januari 2018 hingga 30 Juni 2018.
Penangkapan 41 anggota DPRD Kota Malang terkait korupsi APBD membuat publik kembali mempertanyakan jargon antikorupsi yang kerap didengungkan. Praktik ini mengonfirmasi fenomena gunung es praktik kongkalikong dalam pembahasan anggaran.
Tercatat sejak pertengahan 2017, puluhan elite lokal daerah, parlemen daerah, dan kepala daerah terjerat dalam transaksi gelap pengesahan APBD. KPK telah menetapkan tersangka korupsi APBD: kepala daerah dan DPRD di Provinsi Sulawesi Barat, Jambi, Kota Mojokerto, dan terakhir Kota Malang.
Mahkamah Agung (MA) telah melakukan uji materi atas gugatan larangan mantan narapidana kasus korupsi, Bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak dalam Peraturan KPU tentang Pencalonan. Hasilnya, MA memutus larangan tersebut bertentang dengan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan ini membuat mantan napi tiga tindak pidana kejahatan serius di atas dapat berkontestasi di Pemilu 2019.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan mantan Menteri Sosial, Idrus Marham, pada Jumat (31/8). Ia ditahan setelah sepekan sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Idrus ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dengan sangkaan menggunakan pengaruhnya sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar dalam proyek PLTU.
Perempuan yang mencatatkan namanya sebagai musuh publik kian banyak. Terakhir adalah Eni Maulani Saragih (EMS), Wakil Ketua Komisi VII DPR. EMS dicokok KPK di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham (IM) pada minggu kedua Juli. EMS diduga terlibat kasus suap Rp 4,8 miliar dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 di Provinsi Riau. Belakangan, setelah diperiksa beberapa kali, ia dinyatakan sebagai tersangka.
SURAT TERBUKA UNTUK BAWASLU RI
Jakarta, 31 Agustus 2018
Kepada Yth.
Ketua dan Anggota Bawaslu RI,
Bawaslu RI yang kami hormati,
Pilkada 2018 telah selesai digelar. Gelombang pilkada serentak ketiga tersebut ditutup dengan prediksi berbagai pihak mengenai dampaknya terhadap pemilu 2019. Perhatian publik juga cepat bergeser, dari pilkada ke pencalonan anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden. Tidak banyak dikupas, bagaimana Pilkada 2018 menghasilkan pimpinan daerah yang mampu menjawab tantangan dan membenahi pemerintahan daerah.
Pengadilan Negeri Cibinong akhirnya melayangkan panggilan terhadap Dr. Basuki Wasis untuk hadir dalam sidang besok (28/8). Agenda dalam sidang tersebut adalah pembacaan gugatan terhadap Dr. Basuki Wasis. Dr. Basuki Wasis digugat lantaran keterangannya sebagai ahli dalam persidangan kasus korupsi pemberian persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi milik PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) di pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara.
Jika tak ada aral, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi akan melantik 14 pegawai setingkat eselon II dan III hasil mutasi di lingkungan KPK pada 24 Agustus. Namun, santer terdengar, rencana itu dapat penolakan keras dari Wadah Pegawai (WP). Pasalnya, kebijakan utak-atik posisi pegawai tidak didasarkan pada pertimbangan terang dan jelas. Prahara sedang terjadi di KPK, pimpinan dan WP berhadap-hadapan.
Karena perhatian nasional akhir-akhir ini terkonsentrasi pada isu capres-cawapres, keaktifan kembali penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan relatif luput dari perhatian publik. Padahal, pada hemat saya, KPK sebagai lembaga dan Novel dan kolega penyidik di dalamnya selama ini telah bertindak sebagai ”jantung” program Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.