Kemunduran Transparansi Anggaran DKI Jakarta
DKI Jakarta sebelumnya dikenal sebagai provinsi yang cukup baik dalam menerapkan prinsip transparansi dalam pembahasan anggaran. Langkah baik pemerintah provinsi DKI itu banyak diapresiasi mengingat tren pembahasan anggaran di Indonesia umumnya masih dilakukan secara tertutup. Tak banyak daerah yang dengan serta merta dan regular membuka dokumen anggaran, terlebih lagi dokumen perencanaan.
Melalui penerapan e-budgeting dan portal www.apbd.jakarta.go.id, pemerintah provinsi DKI Jakarta mempublikasikan dokumen-dokumen perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dokumen tersebut misalnya Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), draft Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) yang disusun eksekutif, KUA-PPAS hasil pembahasan eksekutif dan DPRD, hingga APBD perubahan.
Keterbukaan ini membuka ruang partisipasi publik. Publik dapat mengetahui direncanakan untuk apa APBD DKI dan bahkan mengkritisinya. Keterbukaan dokumen perencanaan anggaran ini sekaligus dapat mengoreksi adanya anggaran-anggaran yang dinilai publik tak perlu dan cenderung merupakan pemborosan.
Namun, praktek baik tersebut tak lagi tercermin dalam pembahasan anggaran 2020. Padahal, tahapan pembahasan sudah memasuki tahap pembahasan KUA-PPAS bersama DPRD. Ditelisik di www.dpr.jakarta.go.id, portal anggaran 2020 bahkan belum dibentuk. Publik hanya dapat melihat portal untuk anggaran 2015, 2016, 2017, 2018, dan 2019.
Meski tak secara eksplisit dijelaskan dalam regulasi bahwa dokumen KUA-PPAS yang akan dibahas bersama dengan DPRD harus dipublikasikan kepada, tak diunggahnya RKPD dan KUA-PPAS DKI hingga saat ini adalah suatu langkah mundur. Hal itu mengingat DKI telah menerapkan suatu langkah maju dan dapat dikatakan praktek baik dan sadar akan pentingnya transparansi dokumen perencanaan anggaran pada publik. Tak hanya itu, sikap tertutup pemprov DKI juga merupakan signal buruk dalam konteks pelibatan masyarakat untuk turut mengawasai pembahasan anggaran.
Terlebih lagi, DKI Jakarta adalah daerah yang mengelola uang dalam jumlah sangat besar. DKI juga pernah mempunyai sejarah buruk terkait anggaran. 2015, Mabes Polri mengungkap korupsi pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) pada APBD-P DKI 2014. Saat itu dua anggota DPRD DKI, dua pejabat dinas pendidikan, dan Direktur Utama PT Offistarindo Adhiprima sebagai tersangka.
Korupsi UPS ini pada dasarnya bermula dari buruknya penyusunan dan perencanaan anggaran. Sebab, tak masuk akal komputer di sekolah menggunakan UPS yang berdaya sangat besar dengan harga Rp 5,8 miliar per sekolah. Sebelumnya, kasus anggaran UPS mencapai Rp 5,8 miliar ini mengemuka lantaran Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyebutnya sebagai “dana siluman”.
Tidak hanya soal transparansi, pembahasan anggaran DKI belakangan ini ramai akibat adanya rencana pengadaan dalam jumlah besar yang tak wajar. Dari dokumen KUA-PPAS yang ICW peroleh, ICW juga menemukan rencana pengadaan yang menimbulkan tanda tanya, khususnya mengenai besarnya volume dan peruntukannya.
Jakarta, 3 November 2019
Indonesia Corruption Watch