Menyoal Penyelundupan Pasal oleh KPU tentang Syarat Pencalonan Mantan Napi Korupsi sebagai Anggota DPR, DPRD, dan DPD RI
Setelah ramai dicecar masyarakat atas dugaan melakukan kecurangan Pemilu, baru-baru ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali menebar kontroversi. Pertengahan April lalu melalui regulasi internal kelembagaannya, yakni Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD (PKPU 10/2023) dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPD (PKPU 11/2023), KPU diketahui menyelundupkan pasal yang membuka celah mantan terpidana korupsi untuk maju dalam kontestasi pemilu legislatif tanpa melewati masa jeda waktu lima tahun. Jelas dan terang benderang tindakan KPU itu dapat dikategorikan sebagai pembangkangan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Bukan cuma itu, KPU pun menunjukkan sikap permisif terhadap praktik korupsi politik serta memberikan “karpet merah” kepada para koruptor dalam mengikuti pesta demokrasi tahun 2024 mendatang.
Sumber persoalannya ada pada Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023. Dua aturan itu secara sederhana menyebutkan bahwa mantan terpidana korupsi diperbolehkan maju sebagai calon anggota legislatif tanpa harus melewati masa jeda waktu lima tahun sepanjang vonis pengadilannya memuat pencabutan hak politik. ICW meyakini ada rentetan kekeliruan logika pikir dari KPU menyangkut hal tersebut. Pertama, PKPU, baik untuk calon anggota DPR, DPRD, maupun DPD bertentangan dengan Putusan MK No 87/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No 12/PUU-XXI/2023. Bagaimana tidak, dua putusan MK itu sama sekali tidak memberikan pengecualian syarat berupa adanya pencabutan hak politik jika mantan terpidana korupsi ingin maju sebagai calon anggota legislatif. Untuk lebih jelasnya, berikut bunyi putusan MK terkait pengujian Pasal 240 ayat (1) huruf g dan Pasal 182 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
- Putusan MK No 87/PUU-XX/2022
Menyatakan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:
- Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
(i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
- Putusan MK No 12/PUU-XXI/2023
Menyatakan norma Pasal 182 huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:
Perseorangan dapat menjadi calon anggota DPD RI setelah memenuhi persyaratan:
(i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang- ulang.
Dalam dua amar putusan di atas sudah jelas bahwa MK mewajibkan bagi mantan terpidana korupsi untuk melewati masa jeda waktu terlebih dahulu selama lima tahun sebelum diperbolehkan mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif, tanpa ada pengecualian apapun, termasuk pencabutan hak politik. Kedua, KPU keliru dalam memahami perhitungan waktu bagi mantan terpidana korupsi yang diperbolehkan ikut dalam kontestasi politik. Merujuk pada turunan PKPU 10/2023, yakni Keputusan KPU Nomor 352 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR RI dan DPRD (KepKPU 352/2023), turut dilampirkan simulasi perhitungan yang digunakan oleh KPU ketika menghadapi peristiwa mantan terpidana korupsi yang dikenakan pencabutan hak politik dan ingin maju sebagai calon anggota legislatif. Uraiannya sebagai berikut:
“Mantan terpidana yang diputus pidana tambahan pencabutan hak politik 3 (tiga) tahun, yang bersangkutan bebas murni pada tanggal 1 Januari 2020. Jika mendasarkan pada amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 maka jeda waktu untuk bisa dipilih harus melewati 5 (lima) tahun sehingga jatuh pada tanggal 1 Januari 2025. Namun berdasarkan pertimbangan hukum yang termuat pada halaman 29 Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud yang mempertimbangkan ”sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”, sehingga mantan terpidana yang mendapatkan pidana tambahan pencabutan hak politik 3 (tiga) tahun, maka hanya berlaku pencabutan hak pilih tersebut. Yang bersangkutan telah memiliki hak untuk dipilih per tanggal 1 Januari 2023, terhitung 3 (tiga) tahun sejak bebas.”
Berdasarkan KepKPU di atas terlihat bahwa KPU seperti berpura-pura tidak memahami konstruksi putusan MK. Mestinya perhitungan yang benar tetap berpijak pada kewajiban melewati masa jeda waktu lima tahun, kemudian dikurangi dengan lamanya pencabutan hak politik. Oleh karena itu, jika terpidana dikenakan pencabutan hak politik selama tiga tahun sebagaimana simulasi di atas, hak politiknya tetap tidak bisa langsung digunakan, melainkan harus menunggu dua tahun lagi agar mandat putusan MK berupa masa jeda waktu dapat terpenuhi. Lagipun MK telah menguraikan alasannya mengapa waktu lima tahun harus dipatuhi sebagai masa jeda sebelum seorang mantan terpidana maju dalam kontestasi politik, yakni:
“Sebagaimana telah dikutip dalam pertimbangan hukum putusan-putusan sebelumnya masa tunggu 5 (lima) tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang dipandang cukup untuk melakukan introspeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya bagi calon kepala daerah, termasuk dalam hal ini calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”
Melalui penegasan uraian putusan di atas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa MK menghendaki masa jeda waktu bagi mantan terpidana yang ingin maju dalam kontestasi politik apapun, baik pemilihan kepala daerah maupun pemilihan anggota legislatif.
Tidak berhenti di situ, dua PKPU yang dibuat oleh KPU ini akan menimbulkan dampak buruk bagi Pemilu, pemberantasan korupsi, dan masyarakat sebagai Pemilih. Pertama, KPU terlihat seperti sedang ingin mencoreng nilai integritas dalam Pemilu. Betapa tidak, MK melalui putusannya berupaya untuk menghadirkan calon anggota legislatif yang rekam jejak hukumnya bersih, setidaknya lima tahun terakhir. Namun upaya itu justru dirusak oleh KPU dengan memperbolehkan mantan terpidana korupsi mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif.
Kedua, KPU berpihak pada koruptor dan mengabaikan pemberian efek jera kepada pelaku korupsi. Patut dipahami, masa jeda waktu lima tahun bagi mantan terpidana korupsi dapat dipandang sebagai rangkaian pemberian efek jera bagi mereka. Ini merupakan hukuman di luar pidana pokok sebagai pembalasan atas praktik kejahatan yang telah dilakukan. Selain itu, KPU seolah menutup mata dengan ringannya vonis, khususnya pencabutan hak politik, bagi terdakwa yang berasal dari klaster pejabat. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch pada tahun 2021 lalu, dari total 55 terdakwa yang berasal dari klaster politik, praktis hanya 31 orang saja yang dijatuhi hukuman pencabutan hak politik. Rata-rata hukuman pencabutan hak politik juga sangat rendah, yakni 3 tahun 5 bulan. Oleh karena itu, jika dua PKPU tersebut dibiarkan, bukan tidak mungkin akan banyak mantan terpidana korupsi dapat lebih cepat mengikuti kontestasi politik.
Ketiga, KPU melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan wakil rakyat yang berintegritas. Sebagaimana diketahui Putusan MK Nomor 14-17/PUU-V/2007 sudah menegaskan bahwa “suatu pilihan, termasuk di dalamnya calon anggota legislatif, dalam masa pemilu tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul segala resiko pilihannya.” Poin itu mengamanatkan kepada negara agar menjamin calon-calon yang mengikuti kontestasi politik sudah memenuhi nilai integritas, salah satunya dengan menjalani masa jeda waktu lima tahun. Atas dasar hal tersebut, dengan adanya PKPU 10/2023 dan PKPU 11/2023 justru mengakibatkan hak masyarakat tidak terpenuhi karena kembali disuguhkan calon-calon yang belum melewati masa jeda waktu.
Dalam hal ini penting untuk KPU ketahui bahwa praktik korupsi politik kian masif dan gencar terjadi belakangan waktu terakhir. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi, dari total 1.519 tersangka, satu per tiga atau 521 orang diantaranya berasal dari klaster politik. Maka dari itu, bagi pelaku yang berasal dari klaster politik penting untuk memformulasikan pemberian efek jera, diantaranya dengan mewajibkan melewati masa jeda waktu lima tahun sebelum mereka dapat diberikan hak politik kembali. Jadi, dengan kebijakan KPU mengeluarkan dua PKPU itu, dapat disimpulkan bahwa penyelenggara pemilu tidak mendukung upaya penuntasan praktik korupsi politik. Apabila tidak segera ditanggulangi, akan semakin sulit pula untuk menangkis kesimpulan bahwa KPU, di masa jabatan 2022-2027, telah terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan yang ingin merusak integritas Pemilu 2024 sebagaimana keterlibatan para komisioner dalam kecurangan verifikasi faktual partai politik beberapa waktu lalu dan sederet skandal yang menyandung salah satu komisioner KPU.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, ICW bersama dengan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, PUSAKO FH UNAND, dan Komite Pemantau Legislatif mendesak agar:
- Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia segera membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2023.
- Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia tidak lagi mencantumkan syarat berupa menjalani masa hukuman pencabutan hak politik dan tetap berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi berupa melewati masa jeda waktu lima tahun bagi mantan terpidana korupsi yang ingin maju sebagai calon anggota legislatif.
Jika desakan di atas tidak kunjung dipenuhi, maka kami akan melakukan uji materi dua PKPU tersebut ke Mahkamah Agung.