Menyoal Penetapan Tersangka Nurhayati: Pemberangusan Peran Serta Masyarakat

Ilustrasi Korupsi Dana Desa
Sumber foto: Kanal NTB

Upaya perlindungan terhadap pelapor tindak pidana korupsi kembali menjadi sorotan. Pada akhir tahun 2021, Nurhayati (Bendahara Keuangan di Desa Citemu, Cirebon, Jawa Barat) ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resor (Polres) Cirebon setelah dirinya melaporkan dugaan tindak pidana korupsi Dana Desa tahun anggaran 2018-2020 yang dilakukan oleh Kepala Desa Citemu. Pemolisian Nurhayati ini akan menjadi preseden buruk bagi peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi.

Patut untuk dicatat, kasus seperti ini bukan kali pertama terjadi, pada akhir tahun 2020 lalu, seorang mahasiswa di Universitas Negeri Semarang juga menerima skorsing selama 6 bulan setelah melaporkan rektor kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kejadian ini sungguh sangat disayangkan, sebab, ke depan masyarakat akan selalu merasa dalam ancaman ketika ingin melaporkan dugaan tindak pidana korupsi ke aparat penegak hukum.  

Sebagaimana diketahui, peran serta masyarakat dalam melaporkan dugaan korupsi telah dilindungi sejumlah peraturan perundang-undangan. Masyarakat memiliki hak untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja para penyelenggara negara. Hal ini dilakukan agar memastikan penyelenggaran negara dapat berjalan bersih dan bebas dari korupsi. Setidaknya terdapat tiga peraturan perundang-undangan yang menjamin peran serta masyarakat, antara lain, Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK), Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Adanya tiga regulasi di atas setidaknya menunjukkan bahwa negara menjamin keamanan masyarakat ketika melapor kasus korupsi. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (United Nation Convention Against Corruption, UNCAC), tepatnya Pasal 13 yang mengamanatkan kepada setiap negara peserta, termasuk Indonesia, agar meningkatkan partisipasi aktif dari perseorangan maupun kelompok di luar sektor publik dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Merujuk pada persoalan tersebut dan kaitannya dengan penetapan tersangka terhadap Nurhayati, ada sejumlah isu yang perlu dicermati. Pertama, pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporannya. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU PSK menegaskan bahwa jika ada tuntutan hukum terhadap pelapor atas laporannya tersebut, maka tuntutan hukum itu wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan telah diputus oleh Pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap. Atas dasar ini, seharusnya Polres Cirebon tidak kemudian gegabah dalam mengambil langkah untuk menetapkan Nurhayati sebagai tersangka atas inisiatifnya melaporkan dugaan korupsi. 

Kedua, pemberangusan peran serta masyarakat berpotensi besar melanggengkan praktik korupsi. Dalam konteks korupsi dana desa misalnya, berdasarkan catatan Tren Penindakan Korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) Semester I Tahun 2021, sektor dana desa paling rawan dikorupsi dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 35,7 miliar. Hal ini sejalan dengan data yang menyatakan bahwa lembaga yang paling sering ditangani oleh aparat penegak hukum adalah pemerintahan desa. Selain itu, aparatur desa juga masuk dalam 10 besar aktor paling banyak terjerat kasus korupsi. Atas kondisi buram ini, bukan tidak mungkin sektor dana desa akan semakin menjadi ladang basah korupsi.

Maka dari itu, melihat beberapa catatan tersebut, ICW mendesak:

  1. ­Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengambil langkah dalam memberikan perlindungan kepada Nurhayati sebagai bentuk untuk mendukung upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia. Sebab, mengacu konsideran UU PSK, untuk meningkatkan upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisasi, perlu diberikan perlindungan terhadap saksi pelaku, pelapor, dan ahli. Jadi, LPSK harus pro aktif mendampingi Nurhayati.
     
  2. KPK harus segera menyelesaikan sengkarut koordinasi antara Kejaksaan Negeri Cirebon dan Polres Cirebon dengan cara melakukan koordinasi dan supervisi. Kesimpulan ini bukan tanpa dasar, sebab pada tahun 2020 lalu, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 102 tahun 2020 (PerPres 102/2020) tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang di dalamnya memuat kewenangan lembaga anti-rasuah tersebut untuk mengawasi proses penanganan perkara korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Kewenangan itu secara jelas dituangkan dalam Pasal 6 ayat (1) PerPres 102/2020. Bahkan kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi juga sudah diatur dalam Pasal 6 juncto Pasal 8 huruf a UU No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan