Politik Uang, Hantu Pilkada
Salah satu musuh utama dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi, baik nasional maupun lokal di Indonesia adalah praktek politik uang. Istilah politik uang dimaksudkan sebagai praktek pembelian suara pemilih oleh peserta pemilu, maupun oleh tim sukses, baik yang resmi maupun tidak, biasanya sebelum pemungutan suara dilakukan. Dengan politik uang, pemilih kehilangan otonominya untuk memilih kandidat pejabat publik melalui pertimbangan rasional, seperti rekam jejak, kinerja, program maupun janji kampanye karena memilih kandidat hanya karena pemberian uang belaka. Jenis politik uang ini yang secara umum diatur oleh UU, termasuk UU Pilkada.
Meskipun sudah diatur, akan tetapi efektivitas pemberantasan politik uang masih sangat diragukan. Padalah, politik uang telah merusak sistem demokrasi pemilu dan membuat pemilu menjadi tidak kredibel. Hasilnya banyak pejabat publik yang terpilih karena pengaruh suap kepada pemilih daripada karena faktor objektif sebagaimana telah disebutkan diatas. Karena itu, banyak pejabat daerah hasil pilkada terjerat kasus korupsi setelah menjabat.
Sementara itu, dalam proses penentuan kandidat, politik uang juga disebut marak terjadi. Istilah yang lebih umum adalah candidacy buying. Dalam praktek candidacy buying, partai politik atau elit partai politik meminta sejumlah uang kepada kandidat untuk bisa dipilih sebagai kandidat resmi dan mendapatkan rekomendasi dari partai politik. Pada kasus yang lain, kandidat memborong dukungan partai politik agar partai politik tidak mengajukan kandidat lain sebagai lawannya. Akan tetapi, apa yang kerap disebut sebagai mahar politik, sebagaimana kasus La Nyalla di Jawa Timur, merupakan sesuatu yang sulit untuk diungkap secara hukum.
Belajar dari pengalaman Pilkada sebelumnya, penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu tampaknya akan tetap sulit untuk menghadapi hantu pemilu bernama politik uang. Meskipun regulasinya telah diperbaiki, dimana yang memberi uang dan yang menerima uang bisa dipidana, akan tetapi masalah pembuktian secara hukum akan merintangi proses penegakannya. Oleh karena itu, kemungkinan politik uang akan marak dalam Pilkada 2018 tidak bisa dibantah.
Masalah lain yang mungkin akan mengemuka adalah, apakah dengan penegakan hukum terhadap pelaku, baik penerima maupun pemberi, proses itu akan membawa ke keadilan, dimana penyandang dana maupun kandidat yang berkepentingan langsung atas politik uang, juga dapat diproses secara hukum dan dimintai pertanggungjawaban? Pada konteks ini, kita tentu harus menunggu langkah konkret Satgas Anti Politik Uang yang dibentuk beberapa waktu lalu. Disana ada KPK dan Polri, dua institusi yang berjanji akan menindak tegas pelaku politik uang. Semoga saja inisiatif baru yang telah dibangun oleh KPK dan Polri dapat meredam keinginan banyak kandidat Pilkada untuk menebar uang menjelang Pilkada. *** (Adnan)