Penolakan Revisi UU KPK Terus Meluas

Jakarta, antikorupsi.org (12/10/2015) - Penolakan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengalir. Penolakan datang bukan hanya dari civil society saja melainkan terus meluas ke tokoh agama, organisasi masyarakat (ormas) serta pengamat dan panitia seleksi (pansel) KPK. Penolakan ini disampaikan dalam konfrensi pers yang diadakan pada Minggu (11/10/2015) di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan.

Menurut juru bicara pansel KPK Betti Alisyahbana, pengajuan draft revisi UU KPK sangatlah berbahaya. Beberapa pasal yang diajukan misalnya mengenai masa kerja KPK yang hanya 12 tahun berlawanan dengan Ketetapan MPR No 8/2001.

"Dalam ketetapan MPR tersebut tidak disebutkan batas waktu. Kita juga bisa contoh negara Hongkong dan Singapura, walaupun korupsinya sudah hilang namun lembaga antikorupsinya tetap ada," jelas Betti.

Lanjutnya, penguatan KPK harus memiliki kerangka hukum yang jelas, visi misi yang tegas serta konsistensi dukungan politik pemerintah. Karena tugas utama KPK ialah memberantas korupsi penyelenggara negara. Maka independensi KPK sangatlah penting. "Upaya melemahkan pasti ada, diperlukan dukungan politik terus menerus supaya KPK terus maju," pintanya.

Betti berharap, agar DPR lebih fokus pada proses fit and proper test. Karena diharapkan tidak ada deal-deal politik yang akan menyebabkan masalah di pimpinan KPK kedepannya.

"Saya harap DPR fokus jangan ada deal politik, karena akan merusak pemberantasan korupsi di tubuh KPK. Kita butuh KPK yang kuat karena punya tugas supervisi, koordinasi, penyelidikan, penuntutan, dan pencegahan," tegasnya.

Di lain pihak pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menyatakan, menjadi pertanyaaan besar kenapa umur KPK hanya akan sampai 12 tahun. Disamping itu ada pejabat berjuang keras ingin revisi UU KPK dilaksanakan, hal ini jika diteruskan akan menimbulkan keraguan di tengah masyarakat.

"Apa para pejabat itu mau membangun tradisi korupsi kembali? Saya melihat peristiwa ini ada kaitannya dengan konflik KPK dan Polri" ungkap Bambang.

Dia menegaskan, saat ini tradisi egaliter dan demokrasi di Indonesia sudah mengakar. Maka jangan sampai negera menerapkan sistem otoriter dalam rangka menerapkan kebijakan tersebut. Terlebih Indonesia adalah negara demokratis yang dibangun dengan suara civil society.

"Omong kosong republik ini akan menjadi negara besar. Jangan kibuli rakyat, rakyat tidak bodoh," tegasnya.

Rohaniawan Benny Susetyo, mengatakan, jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pemerintahannya serius menjalankan nawa cita dan revolusi mental, maka harus tegas menarik dan menyatakan tidak setuju atas revisi UU KPK.

“Kalau pemerintah memiliki moralitas publik serta mau menjadi pemerintah yang bersih dan transparan, maka harus menjalankan kehendak publik,” ujarnya.

Dalam hal ini, Jokowi sebagai presiden yang dipilih langsung oleh rakyat harus melihat moralitas publik. Dengan segera menyatakan pemerintah tidak mendukung revisi UU KPK dan segera menyelesaikan permasalahan ekonomi saat ini.

“Tidak ada yang sadar bahwa korupsi menjadi penghambat. Mereka malah beranggapan KPK menjadi pengambat pertumbuhan pembangunan negara,” ucapnya.

Menurut Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiya Dahnil Simanjuntak, pelemahan agenda pemberantasan korupsi sudah terjadi secara sistematis dan masif. Sebelumnya dalam wacana merevisi UU draft revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk memasukan korupsi sebagai pidana yang biasa juga sudah sangat nampak, karena nantinya korupsi di dalam KUHP bukan lagi menjadi kejahatan yang luar biasa.

“Korupsi sama saja merampas hak rakyat secara pelan-pelan,” keluhnya.

Menurutnya, permasalahan korupsi sudah dari jaman Nabi Muhammad SAW. Ini menandakan masalah korupsi sudah ada sejak lama. Saat ini masyarakat terlihat muak dengan korupsi, namun sebagian para wakil rakyatnya malah memberikan kelonggaran bagi para koruptor.

“Kita (Muhammadiyah) usulkan saat meninggal koruptor jangan dishalatkan,” tegasnya. (Ayu-Abid)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan