Pemantauan Kinerja KPK Desember 2019 - Juni 2020
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami situasi stagnasi yang cukup serius. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari rentetan kejadian pada tahun 2019 yang telah meluluhlantakkan masa depan pemberantasan korupsi. Mulai dari proses seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuai banyak kritik dari masyarakat sampai pada proses legislasi revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang sarat akan nuansa pelemahan lembaga anti rasuah itu.
Rangkaian kejadian itu tentunya amat berimplikasi pada kinerja KPK sendiri, mulai dari kebijakan internal yang dikeluarkan oleh lima Pimpinan sampai pada perubahan cukup mencolok dalam lingkup penindakan serta pencegahan. Akibat dari berbagai perubahan itu pun sudah mulai terlihat, setidaknya dalam survei yang dilakukan oleh Indo Barometer 1 dan Alvara Research Center 2 menjelaskan bahwa tingkat kepercayaan publik telah menurun pada KPK.
Narasi politik untuk memperkuat KPK dan menegaskan keberpihakan pada isu pemberantasan korupsi yang sebelumnya kerap disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dan segenap anggota DPR RI faktanya tidak pernah terealisasi. Langkah yang diambil oleh Pemerintah dan DPR berbanding terbalik dengan permasalahan sebenarnya.
Di saat KPK membutuhkan lima Pimpinan yang benar-benar berintegritas serta profesional, Presiden dan DPR malah meloloskan figur-figur dengan rekam jejak bermasalah. Selain itu kebutuhan legislasi yang memperkuat KPK seperti revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset tidak kunjung diakomodir, yang dilakukan malah memberangus lembaga anti rasuah itu melalui revisi UU KPK.
Situasi ini tentu tercermin dari tren Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia. Walaupun secara perlahan mengalami kenaikan skor dimana indonesia masih berada pada peringkat 85 dengan skor 40 di tahun 2019, namun secara tren kenaikan tersebut cukup lambat. Lahirnya berbagai perangkat dan kebijakan antikorupsi sejak tahun 2006 nampaknya belum menunjukan hasil yang cukup signifikan, dimana kenaikan skor hanya berkisar antara 1,05 poin per tahun.
Perbaikan-perbaikan di sektor ekonomi dan bisnis memang nampaknya menyumbangkan hasil positif, namun akan sangat sulit jika tidak diikuti pemberantasan korupsi secara masif di sektor politik, penegakan hukum hukum dan birokrasi.
Kondisi ini kemudian diperburuk dengan melemahkan kedudukan dan kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi melalui revisi UU KPK. Regulasi hasil revisi ingin mendorong garis tegas antara kerja penegakan hukum dan pencegahan serta pendidikan antikorupsi. Situasi ini bertolak belakang dengan tren yang saat ini berkembang di berbagai negara, yaitu memperkuat badan antikorupsi dengan fungsi penindakan, pencegahan dan pendidikan sekaligus mendorong independensi dan kewenangan yang kuat. Disaat berbagai Negara lain berpacu memperkuat komisi antikorupsinya dengan memberikan mandat yang kuat dalam penegakan hukum dan pencegahan korupsi, fungsi yang sama yang telah dimiliki KPK sebelumnya justru dicabut.
Selain itu perkara-perkara korupsi dengan nilai kerugian negara yang besar pun masih tersendat penanganannya di KPK. Sehingga dalam kondisi seperti ini publik berharap kehadiran KPK sebagai role model dan trigger mechanism bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Untuk itu, sebagai fungsi kontrol masyarakat maka Indonesia Corruption Watch bekerjasama dengan Transparency International Indonesia akan memberikan catatan kritis atas kinerja KPK dalam semester pertama di bawah kepemimpinan Komjen Firli Bahuri. Catatan ini akan fokus pada tiga bagian, mulai dari kebijakan internal Pimpinan, upaya penindakan serta pencegahan yang dilakukan oleh KPK.