Menagih Kerugian Negara dari Freeport

PT Freeport Indonesia (PTFI) kembali disebut melakukan perusakan lingkungan dan penggunaan hutan lindung tanpa izin. Pelanggaran tersebut muncul dalam laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas implementasi Kontrak Karya PTFI sepanjang tahun 2013 hingga 2015 ini.

Menurut laporan ini, total kawasan hutan lindung seluas 4535,93 hektare digunakan tanpa izin, sedangkan potensi kerugian negara akibat pembuangan limbah tambang ditaksir lebih dari Rp 185 trilyun. “Hal ini bertentangan dengan Undang-undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004,” tutur Anggota IV BPK Rizal Djalil.

Yang menarik dari laporan ini adalah masuknya kerugian lingkungan sebagai temuan pelanggaran. Sebelumnya, kerugian negara di sektor lingkungan hanya menghitung kerugian ekonomi seperti umur pakai lahan atau nilai kayu tegakan hutan. Namun kini dihitung juga komponen kerugian ekologis seperti rusaknya fungsi lahan, irigasi, atau keanekaragaman hayati, serta biaya pemulihan ekologis yang mencakup proses daur ulang, penguraian limbah, hingga pelepasan karbon. Metode ini digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pertama kalinya awal Maret lalu untuk menjerat Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara Nur Alam. Ia dituntut membayar total ganti rugi sebesar Rp 2,7 trilyun yang dihitung dari ketiga komponen tersebut.

Munculnya kerugian negara di sektor lingkungan pada audit atas operasi perusahaan asal Amerika Serikat ini langsung memenuhi unsur pertama dari pidana korupsi. Sedangkan unsur perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang terpenuhi ketika PTFI beroperasi tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang disyaratkan oleh Keputusan Presiden No 41 tahun 2004 tentang pelaksanaan usaha tambang di kawasan hutan. PTFI tak kunjung menjalankan poin-poin izin prinsip yang diperlukan untuk mendapat IPPKH. Sementara, agar Kontrak Karya diperpanjang, PTFI juga melobby Ketua DPR Setya Novanto yang kemudian dikenal sebagai skandal “"Papa Minta Saham" pada akhir 2015.

Bukan kali ini saja PTFI dinilai melanggar hukum dalam operasinya di Indonesia. Pada tahun 2011, Indonesia Corruption Watch menemukan dugaan aliran "dana keamanan" ke pejabat-pejabat kepolisian. Sementara di New York, Freeport pun dituduh melanggar Foreign Corrupt Practices Act dan memberi pernyataan palsu saat menanggapi laporan Global Witness Foundation soal aliran dana kepada pejabat militer Indonesia. Bahkan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun lalu mengusulkan adanya audit HAM atas PTFI sebagai syarat negosiasi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) mengingat banyaknya temuan pelanggaran HAM terkait perusahaan ini.

Meskipun pemerintah telah mengganti Kontrak Karya PTFI dengan IUPK sejak Februari 2017, tak berarti kerugian negara yang ditemukan BPK hangus begitu saja. Pelanggaran PTFI justru semakin berat mengingat perusahaan ini mendapat kesempatan hampir setahun BPK untuk menindaklanjuti rekomendasi temuan audit BPK, namun tetap tak diindahkan. Kelalaian ini menunjukkan tak adanya niat baik untuk memperbaiki kesalahan .

Sikap PTFI yang mengabaikan temuan dan rekomendasi BPK dapat disebut sebagai tindakan melawan publik. Perusahaan ini mengikat kontrak dengan negara, sementara obyek kontraknya adalah sumber daya alam Indonesia yang diatur dalam konstitusi. Selain pemerintah melalui KLHK yang sepertinya akan menggugat PTFI, masyarakat sebagai pembayar pajak juga dapat mengajukan gugatan. Dari temuan ini, setidaknya PTFI jelas melanggar UU Lingkungan Hidup dan dapat diancam dengan pidana lingkungan. Namun, melihat preseden dalam menjerat Gubernur Nur Alam, KPK juga wajib mengejar nilai kerugian negara yang disebabkan oleh Freeport dengan jeratan pidana korupsi. (Kes/Ade)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags