Maman Imanulhaq

Website: http://mamanimanoelhaq.blogspot.com

KH Maman Imanul Haq Faqih: Ibadah Ritual Tak Cukup Membangkitkan Kemanusiaan

Oleh Nurul H. Maarif

Pengasuh Ponpes Al-Mizan Ciborelang, Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, KH Maman Imanul Haq Faqih tak canggung untuk mendakwahkan gagasan keberagamaan melalui kesenian.

Padahal ada Pesantren yang memusuhi kesenian. Katanya seniman itu setan, sedangkan pesantren itu surga, tutur Kang maman, panggilan akrab kiai berusia 34 tahun ini.

Sebab itu, di pesantren yang didirikannya pada 1998 itu, selain mengajarkan kitab kuning dan tradisi khas pesantren lainnya, ia juga mengembangkan berbagai kesenian, baik kesenian tradisional maupun modern. Kepada 700-an santrinya, misalnya, ia mengajarkan tari kontemporer, musik, gamelan shalawat bahkan debus.

Kekerasan hanya cukup kita jadikan tontonan menghibur dan sebagai ibrah (teladan, red.) moral, seperti pertunjukan debus itu. Tidak ada korban. Tidak ada yang disakiti, ujarnya mengomentari kesenian debus.

Ini membuat kita berfikir supaya tidak melakukan kekerasan yang sebenarnya pada orang lain, imbuhnya.

Melalui pertunjukan seni, kata Kang Maman, dirinya dan para santri ingin melakukan kritik terhadap ibadah ritual banyak kaum muslim di negeri ini. Menurutnya, ibadah ritual seolah tidak cukup untuk membangkitkan rasa kemanusiaan.

Kalau tadi dipertontonkan pecahan beling atau kaca yang dibasuhkan ke muka, itu sebagai peringatan. Bangsa kita kalau wudhu sudah tidak cukup dengan air, tapi harus dengan beling atau kaca, karena hari ini air sudah tidak bisa masuk ke pori-pori ruhani kita. Banyak orang yang ber wudhu , tapi tidak punya rasa malu. Banyak orang yang ber wudhu , tapi wajahnya masih terlihat kelam dan karatan. Mari kita ber wudhu untuk membersihkan muka-muka kemanusiaan kita, menguatkan tangan-tangan kemanusiaan kita, dan itu semua demi kita, ajaknya.

Bahkan kiai muda kelahiran Sumedang, 8 Desember 1972 ini menyatakan, pesantren harus mampu mempertemukan tradisi keilmuan dan transformasi budaya. Kalau bisa, imbuhnya, pesantren harus menyusun strategi kebudayaan.

Ini sebagai ikhtiar menerobos ide-ide untuk mempertemukan sejumlah pemikiran yang emansipatif, eskploratif, dan membumikan nilai keberagamaan dalam konteks kemanusiaan, katanya suatu ketika dalam acara Halaqoh Budaya Pesantren dan Seni Tradisi: antara Relasi dan Hegemoni , di Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat.

Tentang group gamelan shalawatnya yang dinamai Qi Buyut misalnya, alumni Ponpes Bantar Gedang, Tasikmalaya, Jawa Barat, Ponpes Raudlotul Mubtadi in Pekalongan Jawa Tengah, dan Ponpes Ar-Raudloh Tambak Beras Jombang Jawa Timur ini mengungkapkan, nama itu diambilnya dari kosa kata Arab.

Qi Buyut itu dari bahasa Arab. Qi terambil dari kata waqa yaqi yang artinya jaga. Dan buyut artinya rumah. Jadi maksudnya, jagalah rumah hati, rumah kemanusiaan, rumah agama dan sebagainya, katanya. Qi Buyut ini personilnya adalah santri seniman, tambahnya.

Yang menarik, melalui seni ini, ia mampu menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, Penghayat Kepercayaan, Jemaah Ahmadiyah dan sebagainya, tanpa ada sekat apapun. Ini tak lain karena seni atau budaya mampu melembutkan kekakuan sikap dan menampilkan penghargaan terhadap perbedaan.[]

*Suplemen WI di Majalah Gatra

Lokasi

Kabupaten Majalengka, yang menjadi salah satu wilayah pelaksanaan program ini terletak berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di utara, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan di timur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya di selatan, serta Kabupaten Sumedang di barat. Perjalanan dari Jakarta menuju Majalengka dengan transportasi umum menempuh sekitar sembilan jam. Kabupaten Majalengka merupakan perlintasan transportasi antarprovinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah melalui jalur selatan. Kota Majalengka bukanlah kota besar seperti Jakarta atau Bandung. Bahkan melihat kondisi fisik kota Majalengka, tampaknya masih lebih maju daripada Kota Bogor. Melihat fisik bangunan di Kota Majalengka, muncul kesan bahwa kabupaten Majalengka adalah kota kecil yang bersahaja. Di sana tidak akan ditemui gedung pencakar langit. Bahkan kota tidak semarak oleh jajaran mall-mall atau pusat perbelanjaan seperti di kota-kota lain. Namun begitu, kota kecil ini cukup bersih.

Dengan menaiki bus dari Jakarta ke jurusan Cirebon, kita akan melintasi kecamatan Jatiwangi, lokasi Pondok Pesantren Al Mizan. Tepatnya di Desa Ciborelang. Kecamatan Jatiwangi termasyhur dengan industri genteng. Meski demikian, industri ini tidak kemudian menjadikan Majalengka menjadi kota dengan kesejahteraan di atas rata-rata dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat. Dengan kondisi demikian dan juga kondisi alam pegunungan, akses telekomunikasi juga menjadi terbatas. Bahkan di salah satu pesantren yang peneliti kunjungi, wilayah tersebut belum dijangkau jaringan Telkom. Hal ini disebabkan karena jauhnya jarak pesantren dari jalan utama. Akses internet hanya dapat ditemui di pusat Kota Majalengka yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, dan hanya memiliki jumlah unit komputer terbatas, yaitu sekitar 10 komputer per warnet.

Pondok

Pendirian Pondok Pesantren Al Mizan berawal dari keinginan luhur keluarga Haji Muhammad Kosim Fauzan dan istri, Hj. Ummi Kultsum, untuk mengembangkan dakwah Islam sekaligus menjadi benteng akidah umat dari kecenderungan materialisme di masyarakat dan dekadensi moral di kalangan generasi muda. Keinginan luhur ini dimanifestasikan dengan dibangunnya Masjid dan Madrasah Diniyah (MD) serta mengirimkan putera-puterinya ke pondok-pondok pesantren di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Karena keinginan tersebut mulai menampakkan hasil dan respons masyarakat pun baik, maka pada tahun 1992 dirintis berdirinya Taman Kanak-Kanak Al-Quran dan Taman Pendidikan Al-Quran (TKA-TPA) oleh (Alm.) KH. Muhammad Taufiq Firdaus dengan jumlah siswa/i ± 200 orang, dan Al-Hamdulillah sampai saat ini lembaga tersebut semakin berkembang dan maju.

Tidak lama sesudah berdirinya TKA-TPA yaitu sekitar tahun 1995, tak jauh dari rumah Haji Muhammad Kosim Fauzan dirintis berdirinya Majlis Ta’lim ibu-ibu, Shalat Jumat, dan Pengajian Santri Kalong oleh KH. Maman Imanulhaq Faqieh dan KH. Ahmad Fauzi dengan nama Ath-Thoyyibah. Baru tahun 1999 pengajian tidak hanya diperuntukkan bagi santri kalong (santri yang hanya mengaji saja dan setelah itu pulang ke rumah/tidak tidur di pesantren), akan tetapi mulai menerima santri pelajar yang mukim (mondok) di Al Mizan, yaitu dengan jumlah santri/siswa 50 orang. Kemudian di tahun ini pula dibentuk Pengajian Muhasabah di beberapa kota di Jawa Barat dan SII (Studi Islam Intensif) yang kesemuanya itu diprakarsai oleh KH. Maman Imanulhaq Faqieh, ustadz Ramdhan, dan Pak Hamdan. Untuk memenuhi legalitas formal, maka pada tahun 2000 dihadapan Notaris Nono Subarno, SH dibentuklah Badan Penyelenggara Pendidikan di Al Mizan yaitu dengan nama Yayasan Al Mizan dengan moto: “Mengibarkan Panji Cinta Sejati dan Persaudaraan Abadi.”

KH. Maman Imanulhaq Faqieh sebagai pengasuh pondok pesantren merupakan sosok yang unik. Beliau akrab dipanggil dengan sebutan Kang Maman. Dengan pandangan progresif, beliau juga tetap mempertahankan tradisi. Kang Maman terkenal sebagai sosok yang moderat. Beliau bersama pesantren berupaya dalam mempromosikan nilai-nilai pluralisme, yang tentunya masih sangat langka di Kabupaten Majalengka, yang adalah kota kecil yang cenderung terisolasi, begitulah pengakuan Kang Maman. Meski menurut Pak Arif, staff pengajar di Al Mizan, Kang Maman seringkali mendapatkan pertentangan dari pihak-pihak yang tidak setuju dengan Kang Maman, namun usaha Kang Maman untuk menyebarkan nilai-nilai perdamaian tidak pernah surut. Penentangan tersebut biasanya berasal dari kelompok-kelompok Muslim tertentu yang cenderung kepada fundamentalis, yang menurut Pak Arif, cukup solid di Majalengka. Untuk mempromosikan nilai-nilai pluralisme dan perdamaian, Kang Maman menggunakan jalur seni dan dialog. Di pesantren seringkali diadakan pementasan seni seperti, gamelan dan juga barongsai.

Selain itu, dialog antaragama sudah beberapa kali diadakan di pesantren. Pesantren sering pula kedatangan tamu-tamu yang berasal dari tokoh-tokoh nasional seperti Ibu Santi Nuriah Abdurrahman Wahid, Ratna Sarumpaet dan lain-lain, bahkan tokoh asing seperti Martin van Bruinessen.

Untuk menanamkan nilai-nilai tersebut di kalangan santri, Kang Maman melakukannya dengan melibatkan santri sebagai panitia dalam even-even besar di pesantren. Dari situ santri akan bertanya-tanya dan menemukan jawaban, mengapa dialog antaragama diperlukan dan bagaimana pentingnya menjalin harmoni antarpemeluk agama yang berbeda-beda. Hal ini diakui oleh seorang santri yang juga menjadi staff di yayasan Al Mizan, menurutnya, awalnya ia merasa aneh dengan yang dilakukan Kang Maman, akan tetapi setelah ia melihat dan terlibat langsung, baru ia mengerti. Sama halnya dengan Yanti dan Wahyu dua santri Al Mizan, mereka tidak lagi melihat perbedaan agama sebagai sesuatu yang menghalangi mereka untuk dapat berinteraksi dan bekerjasama. Bahkan saat ini, di pesantren ada seorang guru bahasa Mandarin yang beragam Budha dari etnis Tionghoa yang mengajarkan bahasa Mandarin.

Mengenai sistem pembelajaran, Pondok Pesantren Al Mizan adalah pondok pesantren plus yang tidak hanya menyelenggarakan pendidikan pesantren, seperti pengkajian kitab kuning, tetapi juga menyelenggarakan pendidikan formal dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai dengan Sekolah Menengah Umum (SMU). Santri Al Mizan diberi kebebasan untuk memilih dimana mereka akan bersekolah. Akan tetapi, mayoritas memilih untuk sekolah di sekolah yang dikelola oleh pesantren. Siswa-siswa yang bersekolah di sekolah tesebut tidak seluruhnya mukim di pesantren, dan mereka notabene berasal dari masyarakat sekitar pesantren. Sekolah yang dikelola pesantren dari TK sampai MTs menginduk ke Departemen Agama. Sedangkan untuk SMU, menginduk ke Departemen Pendidikan Nasional. Aktivitas belajar di sekolah dilaksanakan sejak pagi hingga sore hari, seperti sekolah-sekolah pada umumnya. Sedangkan pengajian kitab dilaksanakan setiap selesai sholat maghrib dan setelah sholat shubuh.

Santri Pondok Pesantren Al Mizan terdiri dari santri mukim dan non mukim. Santri mukim berarti santri yang tinggal di kobong/asrama pesantren. Akan tetapi, santri-santri yang menetap di kobong tidak selalu santri yang bersekolah formal di sekolah yang diselenggarakan oleh pesantren. Beberapa santri memilih untuk sekolah di luar pesantren. Mengenai hal ini, pesantren sama sekali tidak merasa berkeberatan apabila santri lebih memilih bersekolah di luar. Santri yang bersekolah di luar sama sekali tidak dibedakan dengan santri lain. Mereka tetap wajib mengikuti kegiatan pesantren dan berkesempatan terlibat dalam event-event yang diorganisir oleh pesantren. Jumlah santri yang menetap di asrama adalah sebanyak 51 orang, yang terdiri dari 28 laki-laki dan 23 perempuan. Jumlah santri yang tidak mukim lebih banyak dari jumlah tersebut di atas. Komposisi santri tidak mukim terdiri dari murid-murid sekolah formal dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK), Madrasah Diniyah (MD), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) yang jumlah nya 336 siswa. Terdiri dari 122 siswa Madrasah Diniyah, 45 siswa Raudhatul Athfal, 59 Siswa TK-TPA, 184 siswa MTs dan 36 orang siswa SMU.

Meski ada dari sebagian masyarakat yang kontra terhadap ide-ide Al Mizan, tetapi hubungan pesantren dengan masyarakat pada umumnya baik. Dan belum pernah ada santri yang ditarik dari pesantren karena ide-de yang dipromosikan oleh pesantren. Pesantren seringkali mengadakan kegiatan dengan mengundang masyarakat. Selain itu, majelis ta’lim yang diadakan di pesantren juga mendapat apresiasi yang sangat baik dari masyarakat. Setiap pengajian yang diadakan, masyarakat yang hadir mencapai 50-150 orang. Sistem pendidikan di Pesantren Al Mizan juga diakui baik oleh masyarakat. Bahkan menurut ibu Widya yang menyekolahkan anaknya di RA Al Mizan, RA Al Mizan adalah RA terbaik di Ciborelang. Sehingga ia tidak ragu untuk menyekolahkan anaknya di sana.

Seringkali kualitas suatu lembaga pendidikan dihubungkan dengan latar belakang pendidikan guru-gurunya. Guru-guru di Pesantren Al Mizan yang jumlahnya 40 orang mayoritas lulusan perguruan tinggi, baik D1, D3, S1 dan S2 dari berbagai bidang. Untuk infrastruktur bangungan, sebetulnya bangunan sekolah di Al Mizan masih sangat terbatas. Sehingga, kegiatan belajar mengajar tidak selalu dilakukan di dalam kelas, tetapi juga di masjid ataupun di bawah pohon. Begitupula dengan perpustakaan. Perpusatakaan di pesantren memiliki jumlah buku yang sangat minim sekali. Hingga saat ini pesantren masih belum memiliki laboratorium, baik itu laboratorium IPA, bahasa maupun komputer. Komputer yang diperuntukan untuk siswa baru berjumlah 2 unit. Sehingga siswa dalam mempelajari komputer lebih kepada teori dan belum sampai praktik. Padahal santri sangat berpotensi dan ingin sekali menguasai keahlian komputer. Sehingga mereka akan sangat bersyukur ketika ada pihak yang mau memberikan bantuan internet ke pesantren.

Mengenai hubungan dengan pemerintah, pesantren Al Mizan melakukan kerjasama-kerjasama baik dalam penyelenggaraan pendidikan, yang dilakukan dengan Depag, maupun dalam hal agribisnis. Pesantren pernah mendapatkan bantuan dari Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) berupa peternakan dan bibit jambu merah, yang sekarang akan dikembangkan untuk produksi jus jambu merah, yang arealnya sudah dipersiapkan. Dalam hal ini, pesantren tidak hanya melibatkan pihak-pihak yayasan saja, tetapi juga santri. Pesantren mengirim dua santrinya untuk mengikuti pelatihan pembuatan jus jambu merah yang diselenggarakan oleh Departemen Koperasi dan UKM. Selain itu pesantren juga pernah bekerja sama dengan Departemen Pemberdayaan Perempuan untuk mengadakan pelatihan kesetaraan jender.

Pesantren Al Mizan memiliki dua sumber pembiayaan utama yaitu Rumah Makan Langen Sari milik pendiri pesantren Haji Muhammad Kosim Fauzan dan Hj. Ummi Kultsum. Sumber kedua adalah dari pribadi pengasuh pesantren KH. Maman Imanulhaq Faqieh. Beliau membiayai keseluruhan operasional SMU Islam Al Mizan, yang para siswanya tidak ditarik biaya sekolah/gratis. Untuk MTs, pembiayaan operasional selain berasal dari sumber-sumber tersebut di atas, pesantren mendapatkan bantuan dari pemerintah melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Sumber: http://pewartawarga.blogspot.com/2008/06/profile-kh-maman-imanul-haq-dan-ponpes_03.html

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan