Di Balik Layar Liputan Investigasi

Dok

Seorang jurnalis bukan saja dituntut untuk terampil mewawancarai dan menulis, tapi juga mengetahui kapan waktu yang tepat untuk menghubungi narasumber. Bhekti Suryani, wartawan di Harian Jogja, punya pengalaman tak enak terkait hal yang terakhir.

Kala itu ia sedang menginvestigasi dugaan penyelewengan atas proyek relokasi pedagang kaki lima di kawasan Malioboro, Yogyakarta. Pukul sembilan malam ia mengirim pesan kepada narasumbernya untuk membuat janji wawancara. Tapi pesan lewat WhatsApp itu malah berujung salah paham. Sang narasumber tidak terima dan komplain kepada salah satu koleganya.

“Dia takut pesan WhatsApp saya malam-malam itu disalahartikan oleh istrinya,” ucap Bhekti. 

Bhekti merupakan anggota tim investigasi kolaboratif yang melibatkan organisasi masyarakat sipil dan jurnalis. Meskipun menjadi perempuan satu-satunya di dalam proyek investigasi ini, Bhekti merasa statusnya itu bukan hambatan. Apalagi, dalam liputan sehari-hari dia juga sudah terbiasa bekerja bersama rekan-rekan lelaki. Hal ini membuatnya mudah membangun kedekatan emosional saat bekerja dalam tim. “Tidak terlalu banyak masalah, saya cepat beradaptasi,” kata Bhekti.

Menurut Bhekti, liputan investigasi berbeda dengan liputan reguler yang sehari-harinya dia kerjakan. Investigasi membuat dia mesti melakukan riset lebih lama, menelisik dokumen, mengolah data, hingga menemui sejumlah orang berbeda dalam kurun waktu tertentu. Proses ini membutuhkan waktu lebih panjang ketimbang liputan reguler. Salah satu hal yang terdampak selama tiga bulan proses ini berlangsung, kata Bhekti, adalah pekerjaan rumah tangga. Sebagai perempuan dia memiliki beban ganda yang tidak dimiliki laki-laki. “(Liputan) investigasi mau tidak mau menyita urusan domestik,” kata dia.

Pada awalnya proyek kolaborasi ini diikuti oleh delapan jurnalis. Seleksi awal memang longgar sehingga siapa saja yang tertarik bisa bergabung ke dalam tim. Namun, menurut Bhekti, tak semua koleganya memiliki minat terhadap jurnalisme investigasi. Mereka juga tidak familiar dengan pengolahan data dan tidak terbiasa menelisik informasi sensitif. Apalagi, isu tentang keterbukaan kontrak merupakan sesuatu yang relatif baru buat mereka. Hanya perlu waktu beberapa pekan, sejumlah wartawan kemudian mundur teratur. Bhekti satu-satunya perempuan yang bertahan. Hasil liputannya pun diterbitkan secara berseri di Harian Jogja pada akhir 2019.

Di Bojonegoro, Ririn Wedia juga menjadi satu-satunya jurnalis perempuan yang bertahan hingga akhir proses investigasi. Kala itu Ririn bersama sejumlah jurnalis dan organisasi masyarakat sipil menginvestigasi pembangunan Dander Water Park di Bojonegoro sejak 19 Juni 2019. Liputan Ririn itu kemudian terbit di Suara Banyu Urip pada 8 November 2019. Hasil investigasi menunjukkan pemenang proyek senilai total belasan miliar itu terafiliasi dengan seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bojonegoro. Dua perusahaan pemenang tender dimiliki oleh keluarga Fauzan, anggota DPRD tersebut. Dalam wawancara, Fauzan mengakui keterlibatan perusahaannya dalam proyek tersebut.

Seperti Bhekti, Ririn juga merasa tak memperoleh diskriminasi bekerja di antara laki-laki. Selama proses investigasi, Ririn mengatakan tantangan justru datang dari internal kantornya yang malah membocorkan hasil investigasi. Menurut Ririn, kawan-kawannya menyerah karena merasa mengenal baik sang narasumber. “Mereka merasa sungkan dan akhirnya malah memberitahu hasil peliputan,” kata Ririn. Apalagi, dalam sejumlah kesempatan beberapa jurnalis kerap menerima bantuan dari pihak tertuduh dalam proyek ini. 

Beberapa hari sebelum liputannya terbit, sang anggota DPRD itu meneleponnya sembari marah-marah. Ririn dituduh memiliki niat jahat saat menginvestigasi kasus ini. Meskipun ada teror, Ririn tetap jalan terus dengan liputannya. Apalagi Pimpinan Redaksi Suara Banyu Urip, tempat Ririn bekerja, mendukung penuh investigasinya. “Saya memiliki kewajiban untuk menulis kasus ini,” kata Ririn berkeras. 

Tapi teror tak berhenti setelah liputannya terbit. Berkali-kali Fauzan mengirimkan pesan yang mengungkapkan kekesalannya atas liputan investigasi tersebut. Fauzan mengancam akan memanggil keluarga Ririn jika dia sampai diperiksa kejaksaan. Teror itu Ririn terima setiap hari baik lewat telepon maupun melalui pesan WhatsApp. Tak jarang, ketika marah-marah Fauzan membawa ayat kitab suci. “Kenapa kamu tega?” tutur Ririn mengingat salah satu pesan yang ia terima.

Tak tahan dengan teror itu, Ririn meminta atasannya untuk menghadapinya. Redakturnya meminta Fauzan mengadu ke Dewan Pers jika liputan investigasi mengenai Dander Park dianggap menyalahi kode etik jurnalistik. Akibat investigasi itu, hubungan Ririn dengan Fauzan pun memburuk. Padahal, selama ini dia kerap meminta pendapat Fauzan untuk beragam isu yang sedang hangat di Bojonegoro. “Setelah redaktur saya maju, dia tak ada kabar lagi,” kata Ririn. 

Bukan hanya teror yang disesalkan Ririn, tapi juga minimnya dukungan dari organisasi masyarakat sipil. Ini membuat Ririn merasa sendirian. Akibat liputan itu pula, Ririn memperoleh kesulitan dan kehilangan akses saat meliput di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Bojonegoro. Tiap dia meliput di lingkungan pemerintahan, satuan kerja perangkat daerah kerap mencurigainya. Mereka khawatir Ririn sedang menginvestigasi kasus tertentu. “Mereka takut saya menulis macam-macam,” ujarnya.

Setahun membeku, hubungan Ririn dengan Fauzan baru cair pada akhir Juli 2020. Secara tak sengaja mereka bersirobok di kantor DPRD Bojonegoro. Keduanya bersalaman dengan canggung lalu menanyakan kabar masing-masing.

“Masih marah sama saya, Pak?” tanya Ririn. Sang lawan bicara tersenyum sembari menyahut singkat, “Ah, buat apa marah. Itu buat pengalaman saya.”[]

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan