Dana Desa Rentan Disalahgunakan
Undang-undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa mewajibkan pemerintah pusat untuk mengalokasikan dana desa dari anggaran nasional untuk peningkatan pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa. Menurut catatan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) hingga akhir tahun 2016 setidaknya terbangun lebih dari 120.000 km jalan, 1.960 km jembatan, 5.220 unit pasar desa, pembangunan tambatan perahu sebanyak 5.116 unit, pembangunan embung 2.047 unit, dan pembangunan irigasi sebanyak 97.176 unit. Selain itu juga pembangunan penahan tanah sebanyak 291.393 unit, pembangunan sarana air bersih 32.711 unit, pembangunan MCK 82.356 unit, pembangunan poliklinik desa 6.041 unit, pembangunan sumur 45.865 unit.
Namun berbagai bentuk penyalahgunaan dana desa juga tidak sedikit. Berdasarkan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch, sepanjang 2015 sampai 2017, kasus tindak pidana korupsi di tingkat desa semakin menjamur. Pada 2015 setidaknya ada 17 kasus, jumlah ini meningkat menjadi 41 kasus pada 2016 dan 96 kasus pada 2017. Jika di total, dalam kurun waktu 3 tahun, setidaknya ada 154 kasus korupsi di tingkat desa dengan kerugian negara mencapai Rp 47,56 milyar.
Lebih lanjut, dari 154 kasus korupsi di tingkat desa, sebagian besar terkait dengan dana desa yaitu 127 kasus. Latar belakang pelaku yang paling banyak terlibat korupsi di tingkat desa adalah kepala desa yaitu 112 orang. Selebihnya merupakan perangkat desa 32 orang dan keluarga kepala desa 3 orang. Modus yang digunakan pun bermacam-macam, mulai dari penyalahgunaan anggaran, penggelapan anggaran, pembuatan laporan/ kegiatan/ proyek fiktif hingga penggelembungan harga.
Data ini memperlihatkan masih buruknya tata kelola dana desa. Bahkan kepala desa dan perangkat desa yang seharusnya mengelola dana desa untuk kepentingan masyarakat justru menjadi bagian dari praktek penyimpangan.
Rentannya dana desa untuk disalahgunakan sebenarnya juga disadari oleh pemerintah. Sehingga pada Juli 2017 dibentuklah Satuan Tugas Dana Desa (Satgas DD) yang diketuai oleh Bibit Samad Rianto. Satgas ini bertugas untuk mengawasi pelaksanaan penggunaan dana desa, merumuskan kebijakan terkait, dan menerima serta menindaklanjuti laporan dugaan penyimpangan dana desa. Sayangnya, sampai saat ini belum ada gebrakan yang dilakukan Satgas DD dalam menghadapi korupsi dana desa yang semakin lama semakin meningkat.
Kerentanan penyalahgunaan dana desa semakin bertambah menjelang pilkada serentak 2018. Tidak menutup kemungkinan dana desa dijadikan sumber pendanaan baru dalam pemenangan pilkada. Berkaca pada pilkada serentak 2017 lalu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan indikasi lambatnya pencairan dana desa karena sengaja didekatkan waktunya dengan proses pilkada serentak.
Hal serupa mungkin saja terjadi dalam pilkada serentak mendatang. Selain itu, kepala daerah yang mencalonkan diri dalam pilkada juga rentan menggunakan dana desa untuk kepentingan pribadinya dalam rangka pemenangan pilkada. Sebab tidak ada keharusan bagi kepala daerah untuk mengundurkan diri namun hanya berupa cuti.
Penting bagi semua pihak, termasuk warga desa, untuk mengawasi perhelatan pilkada di daerah masing-masing guna memastikan anggaran desa tidak digunakan untuk kepentingan politik. Penting juga bagi kepala desa dan aparaturnya untuk independen dan fokus pada pemberdayaan dan kesejahteraan desa semata. (Tari/Snyt)