Polemik Lelang Gula Kristal Rafinasi

Foto: Trubus News
Foto: Trubus News

Antikorupsi.org, Jakarta, 28 Maret 2018 – Menteri Perdagangan mengatakan dalam memenuhi kebutuhan industri berupa gula rafinasi, pemerintah akan mengimpor sebanyak 3,5-4 juta ton. Gula rafinasi adalah gula untuk kebutuhan industri, bukan untuk dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 16/M-DAG/PER/3/2017, diselenggarakan lelang untuk mencari kontraktor pengadaan gula. Egi Primayogha, staff Divisi Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam konferensi pers Rabu, 28 Maret 2018 di Kantor ICW, mengatakan dalam lelang ini ditemukan sejumlah indikasi penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum. Indikasi tersebut antara lain terkait regulasi yang digunakan, penunjukkan kontraktor, dan potensi hilangnya penerimaan negara.

Pasar lelang gula rafinasi telah digulirkan sejak 15 Januari 2018. Sempat ditunda dua kali karena tidak adanya payung hukum yang patut yakni Peraturan Presiden (Perpres), lelang tetap dilaksanakan dengan berdasar pada Permendag. Permendag No 16/M-DAG/PER/3/2017 dikeluarkan dengan alasan mencegah rembesan gula rafinasi ke pasar. Dasar dilaksanakannya lelang ini tentu mengabaikan Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang perdagangan yang mengharuskan lelang diatur berdasarkan Perpres. Polemik lainnya adalah Permendag ini mengatur angka minimum pembelian sebanyak 1 ton, yang mana sangat merugikan pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Pasal 4 ayat (1) Permendag No 16/M-DAG/PER/3/2017 mengatur bahwa penetapan lelang merupakan kewenangan Kementerian Perdagangan RI. Atas dasar kewenangan ini, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) diberi kuasa untuk menjadi penyelenggara lelang guna menunjuk pelaksana lelang gula rafinasi. Menurut Perpres No 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa seharusnya yang menjalankan tugas sebagai penyelenggara lelang adalah Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kementerian Perdagangan. Polemik ini tentu mengakibatkan potensi konflik kepentingan yang mana BAPPEBTI sebagai penyelenggara lelang juga sebagai badan pengawas.

BAPPEBTI dalam menjalankan perannya sebagai penyelenggara lelang, diindikasikan tidak berjalan transparan. “Permendag (No 16/M-DAG/PER/3/2017) dikeluarkan 15 Maret 2017 dan hanya dalam selang waktu kurang dari dua bulan, sudah ditetapkan PT Pasar Komoditas Jakarta (PKJ) sebagai pelaksana lelang gula rafinasi pada 12 Mei 2017”, kata Egi. Ia pun menambahkan dari enam perusahaan yang mendaftar, hanya PT PKJ yang berhasil lolos cek teknis. Padahal Perpres No. 4 tahun 2015 pasal 19 ayat (1) mensyaratkan adanya keahlian, pengalaman, dan kemampuan teknis bagi penyedia barang/jasa pemerintah. Pasal 19 ayat (2) juga menyebut bahwa penyedia barang/jasa harus memperoleh paling kurang satu pekerjaan penyedia barang/jasa dalam kurun waktu empat tahun terakhir. “Sedangkan diketahui PT PKJ baru berdiri 29 November 2016, yang belum genap satu tahun berdiri pada saat penunjukkan jadi patut diduga proyek dari BAPPEBTI ini adalah proyek pertama”, imbuh Egi.

Polemik yang terakhir adalah hilangnya potensi penerimaan negara sebesar Rp 255 miliar. Perhitungan ini didasarkan jika Menteri Perdagangan akan mengimpor 3,5-4 juta ton, dan diambil asumsi tengah sebanyak 3 juta ton. Biaya transaksi per ton yang dikenakan kepada pembeli berdasarkan informasi di media sebesar Rp 85.000. Maka pelaksana lelang dapat memperoleh penerimaan sebesar Rp 255 miliar (3juta x Rp 85.000). Perlu diketahui juga berdasarkan Permendag, pelaksana lelang, yakni PT PKJ, bebas menentukan biaya transaksi. Adapun informasi yang didapat dari laporan masyarakat yang masuk ke ICW, besaran biaya transaksi telah tertera dalam minutes of meeting yang melibatkan pemangku kepentingan seperti penjual, pembeli, dan PT Pasar Komoditas Jakarta. Hal ini pun kembali menjadi polemik karena penetapan biaya transaksi seharusnya dituangkan dalam kontrak, bukan dalam minutes of meeting.

Hal lain yang ditemukan ICW adalah indikasi ketidakjelasan kontrak atau perjanjian tertulis antara Kementerian Perdagangan dan PT PKJ. Perpres No 4 Tahun 2015 mengharuskan adanya kontrak atau perjanjian tertulis jika dalam lelang telah didapatkan pemenangnya. Adanya kontrak akan memberikan kejelasan mengenai hubungan timbal-balik antar aktor pemerintah dan swasta sehingga potensi penerimaan negara yang didapat melalui pasar lelang komoditas tidak serta-merta hilang atau berpindah sepenuhnya ke PT PKJ.

Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo, menambahkan dalam laporan yang diterima ICW ini tampak ada upaya bypass atau memotong alur/prosedur yang seharusnya tidak dilakukan, dengan dikeluarkannya Permendag ini. Selain tidak adanya aturan main yang jelas, biaya-biaya yang dihitung tidak termasuk fee yang akan didapat PT PKJ. Hal ini mengakibatkan hilangnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). “Terbitnya Permendag ini mengindikasikan korupsi yang sangat kuat. Merujuk ke UU No.31 Tahun 1999 pasal (2) dan (3) terjadi penyalahgunaan wewenang dengan melawan hukum karena ada pihak lain yang diuntungkan”, kata Adnan. Oleh karena itu aparat penegak hukum sebaiknya segera melakukan penyelidikan terhadap penyelenggaraan pasar lelang gula rafinasi ini.### (Dewi)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan