Rekomendasi Perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Dalam Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019
Saat ini, sidang uji formil dan materil UU KPK di Mahkamah Konstitusi telah memasuki tahapan pemeriksaan ahli-ahli. Artinya, sidang segera memasuki babak akhir. Hal ini juga berarti hampir genap 5 bulan pelemahan KPK melalui Revisi UU KPK terjadi. Selama 5 bulan, pelemahan mencolok yang diketahui publik adalah nyaris tidak adanya OTT dan penyadapan. Di sisi lain, penyidik dan penuntut yang bekerja untuk terjadinya OTT dan langkah-langkah lain dalam kerangka penyidikan dan penuntutan kasus korupsi dikembalikan ke instansi asal.
Pada 8 Februari 2018, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membacakan putusan permohonan uji materi yang dilakukan pegawai KPK yang mempersoalkan keabsahan hak angket pansus DPR. Dengan putusan nomor 36/PUU-XV/2017 ini, MK menyatakan hak angket KPK yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat adalah sah. MK menolak argumentasi pemohon bahwa pembentukan hak angket itu tak sesuai dengan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Etika hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengharuskan hakimnya menjaga kehormatan martabat pribadi dan jabatan. Kalau seorang hakim gagal melakukan itu, karena terbukti melakukan pelanggaran etik, dia sudah kehilangan kehormatan dan martabat sehingga tak pantas lagi mengemban jabatan tersebut.
Jabatan hakim Mahkamah Konstitusi sejatinya tak boleh disandang orang dengan kualifikasi biasa-biasa saja. Jabatan mahapenting itu seharusnya berada di pundak mereka yang memiliki integritas dan kompetensi yang tidak disangsikan sedikit pun.
Publik dikejutkan dengan berita digelarnya uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon hakim Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat—yang saat ini masih menjabat sebagai Ketua MK—pada Rabu (6/12) oleh Komisi III DPR. Masa jabatan Arief sebagai hakim konstitusi akan berakhir April 2018.