Polri Anti Pemberantasan Korupsi: Segera Pecat Napoleon Bonaparte!
Instruksi Presiden Joko Widodo pada bulan Februari silam kepada jajaran aparat penegak hukum agar tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi, rasanya tidak diindahkan oleh institusi Kepolisian Republik Indonesia. Betapa tidak, komitmen anti korupsi korps bhayangkara tersebut layak dipertanyakan menyusul keputusan untuk tidak memecat anggotanya yang berstatus sebagai terpidana kasus korupsi, yakni Irjen Napoleon Bonaparte. Dalam putusan sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP), Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) tersebut hanya menerima sanksi administratif berupa mutasi bersifat demosi selama 3 tahun 4 bulan.
Alih-alih diberhentikan, Napoleon justru nantinya akan ditempatkan sebagai analisis kebijakan di Inspektorat Pengawasan Umum. Jika dicermati lebih lanjut, argumentasi majelis sidang etik yang meloloskan jenderal bintang dua tersebut dari ancaman pemecatan patut dikritisi. Adapun yang menjadi pertimbangan ialah masa tugas yang bersangkutan yang akan berakhir pada November 2023, dan Polri juga mempertimbangkan jasa-jasanya semasa bertugas, serta masa penahanan telah usai dijalani.
Terdapat sejumlah argumentasi yang penting untuk diurai guna menyangkal pertimbangan-pertimbangan tersebut. Pertama, Napoleon diketahui telah menggunakan jabatannya sebagai Kadiv Hubinter untuk meraup keuntungan secara melawan hukum dalam perkara korupsi dengan menerima suap terkait pengurusan red notice terpidana kasus cessie Bank Bali, Djoko Tjandra. Berdasarkan fakta persidangan, ia terbukti menerima uang senilai 370 ribu dollar Amerika Serikat dan 200 ribu dollar Singapura dari Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi.
Perbuatan demikian seharusnya dipandang oleh Majelis Sidang Etik sebagai perbuatan yang justru semakin merendahkan institusi Polri, bukan justru tetap mempertahankannya. Terlebih jika dicermati lebih lanjut, status hukum yang menjerat Napoleon sebagai tersangka pencucian uang dalam perkara terkait juga tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian.
Kedua, inkonsistensi sikap Polri dalam konteks melakukan pemberhentian tidak dengan hormat bagi anggotanya. Meski sempat menuai kontroversi karena tidak memecat atau bahkan mempekerjakan kembali Raden Brotoseno yang notabene merupakan mantan terpidana korupsi, namun Polri sempat menganulir putusan sidang etik. Pada saat itu, bahkan Kapolri sempat merevisi 2 (dua) Perkap agar dapat mengajukan peninjauan kembali, dan pada akhirnya Brotoseno harus diberhentikan dengan tidak hormat dari Polri.
Selain itu, Polri juga selama ini terkesan cherry picking dalam memberhentikan anggotanya. Selama ini, banyak anggota Polri yang diberhentikan, salah satunya karena terlibat narkoba. Terbaru, mantan Kapolda Jawa Timur, Teddy Minahasa, pada sidang KKEP diberhentikan menjadi anggota Polri pasca terbukti terlibat dalam kartel narkotika. Perbedaan sikap ini tentu patut dikritisi mengingat dua kejahatan tersebut (narkotika dan korupsi) sama-sama merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Pertanyaannya, mengapa tindakan terhadap korupsi tidak bisa setegas menindak kejahatan narkotika?
Menimbang dua argumentasi di atas, maka sudah seyogyanya status sebagai anggota Polri dilepas dari nama Napoleon Bonaparte. Namun demikian, aturan internal Polri sendiri jika dicermati lebih lanjut memang tidak secara tegas menyatakan bahwa setiap anggotanya dapat diberhentikan jika terlibat dan melakukan praktik korupsi. Mekanisme pemberhentian yang dimaksud tertera dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Republik Indonesia. Ketentuan tersebut hanya menjelaskan bahwa anggota Polri dapat diberhentikan tidak dengan hormat apabila dipidana penjara berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Selain itu, mahkamah etik sebagai satu satunya lembaga pengawas internal perilaku anggota Polri tidak berguna sebagaimana mestinya. Sehingga berbagai perilaku dan tindakan niretik anggota Polri terus terjadi dan berulang.
Atas dasar permasalahan tersebut, kami mendesak agar:
1. Kapolri segera mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan sidang kode etik Napoleon Bonaparte, dimana kewenangan tersebut didasarkan pada Pasal 83 ayat (1) Perkap Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia
2. Presiden mengambil alih pengawasan internal Polri.
3. Pemerintah segera merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Republik Indonesia dengan memasukkan klausula yang menegaskan bahwa anggota Polri dapat diberhentikan tidak dengan hormat apabila terbukti melakukan tindak pidana korupsi melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Hormat kami,
Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian
(YLBHI, ICW, PBHI, AJI, KontraS, ICJR)
Narahubung:
1. Agus Sunaryanto (ICW)
2. Dimas Arya (KontraS)
3. Julius Ibrani (PBHI)
4. Muhammad Isnur (YLBHI)