Perlunya Peneguhan Status Justice Collaborator Tindak Pidana
Status justice collaborator, atau saksi pelaku, kerap memunculkan perdebatan. Bukan hanya pada tataran teoritis, tetapi terutama dalam tataran penegakan hukumnya. Beberapa terdakwa kasus korupsi yang sudah menerima status justice collaborator (JC) dalam tuntutannya, tidak secara serta-merta diputus lebih ringan sebagai bentuk penghargaan atas kerja samanya.
Sepanjang 2015 - April 2016, KPK telah menerima 57 permohonan status JC dari terdakwa korupsi yang ditangani KPK. Dari kelima puluh tujuh permohonan tersebut, hanya 12 terdakwa yang dikabulkan statusnya sebagai JC oleh KPK, dan 34 lainnya ditolak. Selain permohonannya ditolak, ada pula 7 permohonan yang belum diproses, 1 permohonan yang dibatalkan, dan 3 permohonan yang tidak memenuhi syarat. (Thalib, Rahman, and Semendawai 2017).
Dari antara permohonan yang dikabulkan oleh KPK tersebut, terdapat beberapa tersangka maupun terdakwa dengan status saksi pelaku, yang permohonannya sebagai JC ditolak oleh majelis hakim. Agus Condro dalam kasus korupsi cek pelawat pemilihan Gubernur BI, Irman dan Sugiharto dalam kasus korupsi KTP-el, Abdul Khoir dalam kasus suap kepada Pejabat Kementerian Pekerjaan Umum dan Kosasih Abbas dalam kasus korupsi pengadaan Solar Home System (SHS), adalah beberapa contoh saksi pelaku yang statusnya sebagai JC ditolak oleh majelis hakim.
Landasan Hukum dan Ketidakpastian Pemberian Status JC
Definisi terkait JC diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU 31/2014, yang menyebutkan bahwa, saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. Lebih lanjut, Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014 mengatur bahwa saksi pelaku tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata atas kesaksian yang disampaikannya.
Mekanisme dan kualifikasi pemberian status JC untuk perkara korupsi itu sendiri tidak hanya diatur dalam UU 31/2014 jo. UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tetapi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi UNCAC (UU 7/2006), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Ratifikasi UNTOC (UU 5/2009), dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Tertentu (SEMA 4/2011).
Pada praktiknya, selain penyidik atau penuntut umum, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki peran penting dalam menelaah permohonan status JC dan merekomendasikan untuk meringankan hukuman saksi pelaku atau JC.
UU 31/2014 sendiri telah mengakomodasi dua kriteria yang ada dalam SEMA 4/2011 dan diharmonisasi dengan PP 99/2012 untuk pemberian status JC. Kedua kriteria yang diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU 31/2014 huruf c dan d yaitu, bukan merupakan pelaku utama dari tindak pidana dan bersedia untuk mengembalikan aset hasil kejahatan yang dilakukannya.
Permasalahannya, sebagaimana telah disebutkan di atas, majelis hakim masih kerap memiliki perbedaan pandangan dengan penyidik, penuntut umum, dan LPSK dalam mengabulkan status JC kepada terdakwa perkara korupsi. Akhirnya, meskipun terdakwa telah bersikap kooperatif dan keterangannya dinilai membantu penyidik dalam mengungkap tindak pidana, ia tetap tidak menerima keringanan hukuman sebagai bentuk penghargaan atas kerja samanya.
Salah satu contoh perbedaan pandangan antar penegak hukum ini adalah pemahaman soal “Pelaku Utama”. Hal ini dapat diidentifikasi dari pertimbangan dan sanksi pidana yang dijatuhkan majelis hakim dalam putusannya, contohnya Abdul Khoir dan Kosasih Abbas, yang justru dihukum lebih tinggi dari tuntutan JPU KPK.
Perbedaan pemahaman tersebut dapat “dipahami” sampai derajat tertentu, karena tidak ada penafsiran otentik terkait definisi “Pelaku Utama” dalam peraturan terkait, contohnya Pasal 28 ayat (2) huruf c UU 31/2014. Ketiadaan definisi pada bagian penjelasan Pasal 28 ayat (2) huruf c UU 31/2014 patut diduga “berkontribusi” pada ketidaksepahaman yang terjadi antara aparat penegak hukum dengan lembaga pengadilan.
Konsensus Bersama Penegak Hukum
Mengingat pentingnya peran seorang saksi pelaku yang bekerja sama dalam mengungkap suatu perkara, khususnya yang terorganisir seperti korupsi, perbedaan pemahaman yang dapat berujung pada kerugian dan bahkan ketidakadilan bagi saksi pelaku, harus segera diatasi. Pembiaran atas perbedaan tersebut dapat mengakibatkan keengganan saksi pelaku untuk bekerja sama membantu penegak hukum dalam membongkar kejahatan.
PIhak-pihak terkait harus kembali duduk bersama untuk menyepakati kualifikasi “Pelaku Utama” yang kerap menjadi ganjalan dalam melindungi saksi pelaku yang bekerja sama. Kekuatan yang dimiliki oleh saksi pelaku yang bekerja sama adalah kualitas dan signifikansi informasi yang diketahuinya terkait tindak pidana tertentu, yang kerap pula dibayangi dengan ancaman atas keselamatan diri, keluarga, dan orang-orang terdekatnya.
Oleh karenanya, seluruh institusi penegak hukum, serta Mahkamah Agung dan LPSK perlu membangun konsensus bersama terkait status JC dan definisi “Pelaku Utama”. Konsensus tersebut dapat dituangkan dalam bentuk Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antarlembaga, maupun kembali mendorong perbaikan atau revisi dari UU 31/2014 yang dapat mengakomodasi perkembangan lainnya terkait perlindungan informan, saksi, whistleblower, maupun JC, yang akan berkontribusi pada pengungkapan kejahatan terorganisir.
Penulis: Lalola Easter K
Editor: Siti Juliantari R