Patgulipat Dana Hibah

mengambil jatah dari dana hibah

Pada pertengahan Desember 2022 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan terhadap Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur Sahat Tua Simanjuntak. Politisi Partai Golkar ini diduga menerima suap sebesar Rp 5 miliar karena memuluskan pengurusan dana hibah untuk proyek infrastruktur pedesaan yang disalurkan melalui kelompok masyarakat (Pokmas).

Sahat merupakan salah satu pengusul alokasi dana hibah bersama para anggota DPRD Jawa Timur lain. Usulan itu kemudian ditindaklanjuti Pemerintah Provinsi dengan merealisasikan anggaran dana hibah sebesar Rp 7,8 triliun. Namun dibalik usulan tersebut diduga ada skenario untuk mencari keuntungan dengan modus “ijon” atau kelompok masyarakat harus memberikan komitmen fee 10%-20% dari alokasi yang dana hibah yang disalurkan.

Ditengah proses hukum yang sedang berjalan di KPK, tentu banyak pertanyaan yang muncul, salah satunya apakah kasus korupsi dana hibah hanya akan menjerat Sahat atau juga melibatkan anggota DPRD lain termasuk pihak eksekutif? 

Jika merunut kronologi perencanaan dana hibah provinsi Jawa Timur, sebenarnya dengan mudah publik bisa menerka siapa saja yang terlibat. Misalnya dengan mengusut dan memeriksa siapa saja anggota DPRD yang mengusulkan, dibahas dengan siapa saja dan memverifikasi kepada para Pokmas sebagai penerima, apakah jumlahnya sesuai dan memang layak menerima alokasi dana hibah. 

DPRD memang memiliki kewenangan atau hak budgeting untuk terlibat dalam setiap pembahasan anggarannya bersama eksekutif. Namun bercermin pada kasus di Jawa Timur ini, kewenangan itulah yang diduga disalahgunakan untuk mengatur siapa saja yang bisa mendapatkan dana hibah, berapa jumlah alokasi yang akan didapatkan serta dimana saja akan didistribusikan. Penyalahgunaan wewenang tersebut kemudian diakhiri dengan meminta komitmen fee atau ijon dari para Pokmas. 

Mengambil Untung dari Dana Hibah

Fakta menunjukan jika dana hibah seringkali menjadi sasaran para pemburu rente. Hal ini setidaknya tergambar dari hasil pemantauan ICW selama 5 tahun terakhir dimana ada 8 kasus terkait korupsi dana hibah yang melibatkan anggota DPRD di berbagai wilayah di Indonesia, diantaranya Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Kalimantan Barat. Sedangkan modus yang sering digunakan yaitu, pemotongan anggaran, laporan fiktif, penggelembungan harga atau mark up, penggelapan dan penyalahgunaan anggaran.   

Selain menjadi sasaran rente, dana hibah juga bisa dimanfaatkan secara politik baik oleh anggota legislatif daerah maupun pihak eksekutif. Pada situasi menjelang pesta demokrasi, dana hibah dapat digunakan sebagai dana politik untuk meraup suara, misalnya membiayai tim sukses atau dana hibah disalurkan di daerah pemilihan (dapil) dan mengklaim sebagai prestasi atau uang pribadi kandidat

Kasus dana hibah yang diduga dijadikan alat politik pernah terjadi di Provinsi Banten pada saat Pilgub tahun 2011. Menurut hasil pemantauan ICW, setidaknya ada beberapa modus terkait penyelewengan dana hibah di provinsi ini, diantaranya lembaga penerima hibah fiktif, pengulangan alamat lembaga penerima hibah, pemotongan dana hibah, serta aliran dana hibah kepada lembaga yang dipimpin kerabat Gubernur Banten. Dalam kasus ini potensi kerugian negara mencapai Rp. 34,9 miliar atau 30% dari total dana hibah yang disalurkan.

Berbagai kasus yang terjadi menunjukan jika dana hibah sangat rawan penyimpangan, tidak hanya oleh legislatif daerah tetapi juga eksekutif karena keduanya memiliki kewenangan masing-masing. Patut diketahui Peraturan Pemerintah (PP) 12 tahun 2019 tentang pengelolaan keuangan daerah mengatur soal pemberian hibah harus atas usulan tertulis kepada kepala daerah. Kemudian tata cara penganggaran, pelaksanaan dan penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban serta monitoring dan evaluasi hibah diatur lebih lanjut dengan peraturan kepala daerah. 

Itu artinya dalam hibah Jawa Timur, KPK harus mengembangkan proses hukumnya ke pihak eksekutif, sehingga berbagai penggeledahan ruang kantor Gubernur, Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah dan Perangkat daerah yang relevan terkait dana Hibah Infrastruktur ini merupakan langkah yang tepat.

Nuansa Intervensi terhadap Proses Hukum

Ditengah merosotnya kredibilitas KPK akibat persoalan etik Komisionernya, langkah Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap politisi daerah patut diapresiasi. Ironisnya Pemerintah melalui Luhut Binsar Pandjaitan justru menyatakan sebaliknya, menganggap OTT tidak bagus dan terkesan merusak citra negara Indonesia. Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves) ini lebih mendorong penerapan pencegahan oleh KPK bisa lebih maksimal salah satunya dengan sistem yang terdigitalisasi.

Perkembangan teknologi misalnya digitalisasi proses pengadaan, perizinan atau pembayaran pada satu sisi memang dapat meningkatkan efisiensi waktu dan biaya bahkan mencegah transaksional. Namun bukan berarti tidak ada celah korupsi dalam sistem yang terdigitalisasi karena operator sistem adalah manusia juga yang pada titik tertentu bisa diintervensi oleh atasan yang telah disuap. Untuk itu, upaya penindakan misalnya dengan OTT tetap harus dilakukan jika teknologi bisa disiasati oleh para pelaku korupsi. 

Para pejabat pemerintah seharusnya lebih arif untuk menyikapi proses hukum sebuah kasus yang sedang berjalan agar tidak terkesan mengintervensi kerja penegak hukum dalam menangani perkara. Seharusnya Pemerintah termasuk Menko Marves yang harus lebih giat memperkuat sistem pencegahan di internal K/L/PD, karena jika korupsi masih terjadi berarti sistem pencegahan termasuk digitalisasi belum berjalan optimal.

 

Penulis: Agus Sunaryanto

Editor: Siti Juliantari 


 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan