OUTLOOK PEMBERANTASAN KORUPSI 2024
Laporan ini merupakan refleksi atas pemberantasan korupsi selama tahun 2023, sekaligus proyeksi situasi korupsi di tahun 2024 dimana Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (pileg) serentak akan berlangsung, kemudian diikuti pemilihan kepala daerah pada Oktober 2024.
Suhu politik pemilu semakin memanas menjelang hari pemungutan suara, hal ini ditambah pernyataan kontroversial Jokowi yang menjelaskan jika Presiden boleh berkampanye dan memihak selama tidak melanggar aturan. Apa pasalnya, bukankah tidak ada aturan yang dilanggar?
UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 299(1) memang mengatur hak presiden dalam berkampanye. Namun harus diingat bahwa Presiden juga merupakan pejabat negara sesuai UU 20 tahun 2023 tentang ASN, sehingga sesuai pasal 282 UU 17/2017 maka Presiden sebagai Pejabat Negara dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang mengutamakan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa Kampanye. Itu artinya cara pandang terhadap hak kampanye Presiden dalam UU Pemilu tidak boleh parsial.
Seharusnya Presiden jika ingin berkampanye harus sudah mengambil cuti sejak masa kampanye di mulai, sehingga tidak merugikan Paslon lain. Saat ini Presiden tidak berkampanye namun tindak tanduknya menunjukan preferensinya yang sangat jelas yaitu mendukung Paslon dimana anaknya menjadi Cawapres.
Pernyataan Presiden soal hak berkampanye seperti membuka kotak pandora, akan menjadi contoh pejabat lain termasuk kepala daerah dan ASN. Tentu yang berbahaya tidak hanya kampanye tapi pola Jokowi yang membagikan Bantuan kepada masyarakat akan menjadi modus umum yang diikuti pejabat di daerah.
Seperti diketahui berbagai bentuk bantuan pemerintah yang disetujui Jokowi akan cair pada awal 2024 seperti BLT Elnino, Bantuan Pangan Beras, Bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai, Program Indonesia Pintar. Berbagai Bansos ini harus ditafsirkan dengan kacamata politik electoral untuk pemenangan paslon tertentu mengingat dari pembagian Bansos sebelumnya nyata-nyata dua Menteri menyatakan itu bantuan dari Presiden Jokowi.
Sedikit menengok kebelakang, Bansos sepertinya tidak hanya akan disalahgunakan secara politik tetapi juga secara hukum karena cukup banyak kasus Bansos yang dikorupsi, seperti kasus Bansos Covid yang menjerat Juliari Batubara atau Bansos Beras untuk program keluarga harapan (PKH) dimana tahun 2023 KPK telah menahan beberapa direktur swasta distributor bansos.
ICW memproyeksi akan banyak kasus korupsi terkait Bansos di masa Pemilu, namun sepertinya tidak akan ditangani sementara waktu karena Kejaksaan dan Kepolisian mengambil kebijakan tidak akan menangani kasus hukum menjelang Pemilu untuk menghindari Politisasi.
Kebijakan itu patut disesalkan karena justru menjelang pemilu para politisi berupaya mencari pendanaan untuk membiayai aktivitas politiknya seperti politik uang untuk meraih suara. PPATK bahkan beberapa kali menyampaikan temuan transaksi mencurigakan menjelang pemilu 2024, misalnya adanya transaksi mencapai 1 triliun dari kejahatan lingkungan yang mengalir ke anggota Parpol serta adanya 36,6 persen dana dari Proyek Strategis Nasional yang mengalir ke Politisi dan ASN.
Berdasarkan temuan PPATK tersebut maka potensi korupsi dan pelanggaran sumber daya dan fasilitas negara akan semakin mewarnai Pemilu 2024.. Apalagi Putusan MK 68/PUU-XX/2022 mengizinkan Menteri yang mencalonkan diri dalam Pilpres untuk tidak mengundurkan diri, termasuk PP 53 tahun 2023 yang mengatur cuti bagi Menteri yang menjadi Capres/Cawapres
Pertanyaannya apakah kita akan berharap pada KPK untuk menangani kasus korupsi di masa Pemilu ? Rasanya tidak. Karena jika kita mau berefleksi situasi di tahun 2023 , KPK yang selama ini menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi justru menurun kinerjanya dan banyak berpolemik, misalnya mengambil langkah kontroversial dengan meminta maaf kepada TNI karena telah menetapkan Kabasarnas sebagai tersangka korupsi pengadaan alat korban reruntuhan. Bahkan yang lebih fatal pimpinan KPK Johanis Tanak terkesan mengkambinghitamkan penyidik karena kurang berkoordinasi dalam melakukan OTT dalam kasus Basarnas tersebut.
Belakangan KPK justru larut dalam konflik internal terutama terkait pemulangan Deputi Penindakan Irjen Polisi Karyoto dan Brigjen Polisi Endar Priantoro Ke Mabes Polri yang diduga kuat berbalut isu politik penanganan kasus Formula E yang dipaksakan. Puncaknya adalah penetapan tersangka Firli Bahuri pada November 2023 oleh Penyidik Polda Metro Jaya karena diduga melakukan tindak pidana korupsi melakukan pemerasan atau gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji yang berhubungan dengan jabatannya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait penanganan kasus hukum di Kementerian Pertanian tahun 2020-2023.
Bisa dikatakan status tersangka Firli Bahuri sebagai Ketua merupakan titik nadir bagi kredibilitas KPK. Hilangnya suri tauladan itu mendorong lahirnya pelanggaran lain di level bawah seperti pungutan liar di rutan KPK yang melibatkan 93 pegawai. Artinya berat jika harus menyandarkan pemberantasan korupsi kepada KPK dengan situasi saat ini.
Publik yang harus bangkit kepeduliannya, tidak boleh apatis atas segala kesewenang-wenangan, rekayasa hukum dan politisasi bantuan untuk melanggengkan kekuasaan dinasti politik. Pengawasan bersama harus dilakukan setiap masyarakat baik selama kampanye, pemungutan suara hingga perhitungan suara dari TPS hingga tingkat nasional untuk memastikan kecurangan tidak terjad