MPR Cabut Nama Soeharto: Akal Bulus Negara dalam Memutihkan Dosa Orde Baru!
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998, yang menekankan pentingnya pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Pasal 4 TAP MPR 11/1998 tersebut berbunyi "Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia".
Ketua MPR, Bambang Soesatyo (Bamsoet), yang juga merupakan anggota Partai Golkar, menjelaskan bahwa pencabutan ini merupakan langkah lanjutan dari surat Fraksi Golkar pada 18 September 2024. Keputusan ini kemudian diambil dalam Rapat Pimpinan MPR yang diadakan bersama pimpinan fraksi dan DPD pada 23 September 2024. Dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR, disepakati bahwa penyebutan nama Soeharto dalam pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 kini dianggap selesai, mengingat yang bersangkutan telah meninggal dunia.
Pencabutan ini merupakan langkah yang keliru karena tidak mempertimbangkan aspek historis lantaran berpotensi memutihkan dosa-dosa Soeharto selama 32 tahun masa kepemimpinannya yang dipenuhi dengan dosa kejahatan HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan menghapus namanya dari ketetapan yang menuntut akuntabilitas, seolah-olah MPR memberikan amnesti moral bagi tindakan yang telah merugikan masyarakat luas. Selain itu, tindakan ini merupakan kemunduran bagi reformasi, yang seharusnya menyerukan pengadilan bagi Soeharto dan para kroninya serta menghapus praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, ini tidak hanya akan mengaburkan tanggung jawab, tetapi juga mengancam upaya keadilan dan pengungkapan kebenaran yang selama ini diperjuangkan.
Belum lagi, pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR tersebut juga diiringi dengan wacana untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto yang sempat beberapa kali digulirkan seperti pada 2010 ketika namanya diajukan sebagai calon penerima gelar pahlawan oleh Kementerian Sosial, serta janji Prabowo Subianto pada 2014 untuk memberikan gelar tersebut hingga pada Musyawarah Nasional Luar Biasa tahun 2016. Selain itu, wacana ini kembali mengemuka setelah pencabutan namanya dari TAP MPR No. 11/1998. Hal ini tentu semakin mengafirmasi bahwa pencabutan tersebut memang disinyalir untuk memuluskan rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada presiden kedua itu. Sebab, Tap MPR No 11/1998 merupakan salah satu batu sandungan terhadap Soeharto agar memperoleh gelar kepahlawanan.
Pada dasarnya, gelar pahlawan merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan serta simbol pengakuan terhadap warga negara yang berjasa dan mendarmabaktikan hidupnya serta memberikan karya terbaiknya terhadap bangsa dan negara. Gelar pahlawan seharusnya diberikan kepada individu yang berkontribusi besar bagi bangsa tanpa melakukan tindakan tercela, sementara pada era kepemimpinan Soeharto, negara bertransformasi menjadi mesin pembunuh yang ditandai dengan pelbagai pola kekerasan, seperti: pembasmian, kekerasan dalam perampasan sumber daya alam, penyeragaman dan pengendalian, dikelolanya kekerasan antarwarga, kekerasan terhadap perempuan, kebuntuan hukum, pers dibatasi-bahkan pers yang kritis dibredel; partai-partai politik dibatasi. Bahkan dalam catatan KontraS, Soeharto bertanggungjawab atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM dan HAM berat, serta tindak pidana korupsi yang diperkuat dari adanya putusan Mahkamah Agung No. 140 PK/Pdt/205 yang juga telah menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar US $ 315.002.183 dan Rp 139.438.536.678,56 kepada Pemerintah RI, atau sebesar Rp 4,4 triliun berdasarkan kurs saat itu.
Soeharto didakwa karena mengeluarkan sejumlah peraturan dan keputusan presiden yang menguntungkan setidaknya tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto dan kemudian dialirkan ke 13 perusahaan afiliasi keluarga serta kroni Cendana dengan total setidaknya Rp4 triliun. Hingga hari ini pun, Pemerintah belum sepenuhnya melakukan eksekusi terhadap aset milik Yayasan Supersemar. Bahkan Yayasan Supersemar hanya 1 dari 7 yayasan yang seharusnya dapat ditindaklanjuti oleh Pemerintah apabila serius memberantas korupsi.
Upaya untuk membawa penguasa Orde Baru ke meja hijau selalu gagal. Meskipun pada Maret 2000 Kejaksaan menetapkan Soeharto sebagai tersangka korupsi melalui tujuh yayasan tersebut dan melimpahkan berkasnya ke pengadilan pada Agustus, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2006 mengumumkan bahwa pemerintah tidak akan melanjutkan kasus Soeharto di muka pengadilan. Proses hukum tersebut terhenti karena alasan kesehatan. Alhasil, Kejaksaan pun menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Soeharto pada 11 Mei 2006 karena perkara ditutup demi hukum, yaitu gangguan kesehatan permanen pada Soeharto sehingga persidangan tidak mungkin dilanjutkan. Namun, penting untuk dicatat bahwa ini tidak menghapus fakta adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun, sebagaimana tercantum dalam TAP MPR XI/1998 yang mendorong pengadilan terhadap Soeharto dan para kroninya.
Momentum “diputihkannya” nama Soeharto di atas juga perlu dikritisi. Apalagi dengan mempertimbangkan fakta bahwa Presiden terpilih, Prabowo Subianto, memiliki afiliasi kuat dengan keluarga Cendana. Jangan sampai penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR No. XI/MPR/1998 didasari oleh konflik kepentingan yang dimiliki oleh Prabowo untuk sebisa mungkin memperbaiki citra dirinya dan andil keluarga Cendana atas kontribusi keduanya terhadap sejarah kelam Orde Baru sebelum Prabowo dilantik sebagai Presiden pada 20 Oktober mendatang.
Pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR jelas memiliki nuansa politik yang menguntungkan kelompok tertentu. Sementara itu, selama lebih dari setengah abad, para penyintas dan keluarga korban Peristiwa 1965-1966 berjuang untuk mendesak negara mencabut TAP MPR XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/marxisme-leninisme. Namun, hingga saat ini aturan tersebut masih menjadi alat opresi negara untuk memperkuat stigma terhadap para penyintas dan keluarga korban 1965-1966.
Oleh karenanya dengan situasi dimana negara absen dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM di masa Rezim Soeharto, pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto juga turut memberikan pemutihan atau amnesti secara ilegal terhadap segala bentuk kejahatan negara yang pernah terjadi. Dalam hal ini, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan hanya akan merugikan keadilan bagi korban, tetapi juga dapat menciptakan preseden buruk bagi penanganan pelanggaran HAM di masa depan. Keputusan ini menunjukkan bahwa tanpa adanya pengakuan dan pertanggungjawaban, sejarah kelam dapat terulang kembali, merugikan generasi mendatang yang berhak atas keadilan dan kebenaran.
Jakarta, 26 September 2024
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) - Dimas Bagus Arya
Indonesia Corruption Watch (ICW) - Wana Alamsyah
Transparency International Indonesia (TII) - Danang Widoyoko