Menyoal Vonis Banal Bagi Para Mafia Peradilan
Harapan publik agar para mafia peradilan dapat diberantas kembali menemui jalan buntu. Hal ini tidak terlepas setelah vonis bebas yang diberikan kepada Hakim Agung nonaktif, Gazalba Saleh, dalam perkara korupsi pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA), pada Selasa (1/8/2023) lalu. Terlebih, di hari yang sama, Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi Bandung juga memotong satu tahun masa pemidanaan mantan Hakim Agung lainnya, Sudrajad Dimyati, dari awalnya 8 tahun menjadi 7 tahun penjara.
Padahal, penanganan kasus ini sejatinya merupakan ujian sekaligus menjadi momentum guna menunjukkan komitmen dari lembaga kekuasaan kehakiman untuk membersihkan diri dari mafia peradilan yang menggurita di lembaga tersebut. Putusan bebas bagi Gazalba Saleh dan pengurangan hukuman penjara Sudrajat Dimyati, kian memperburuk marwah lembaga peradilan di mata masyarakat.
Meskipun putusan hakim pada dasarnya mengandung prinsip Res Judicata Pro Veritate Habetur, atau putusan hakim harus dianggap benar, akan tetapi sulit rasanya bagi publik untuk tidak mempertanyakan objektivitas majelis hakim yang memeriksa dan menangani perkara Gazalba Saleh dan Sudrajad Dimyati ini.
Indonesia Corruption Watch (ICW), mencatat sejumlah poin kritis atas vonis banal terhadap dua mafia peradilan ini. Pertama, pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung dan Pengadilan Tinggi Bandung tidak berdasar, cenderung bias dan tidak imparsial.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung dalam perkara Gazalba Saleh yang menyebutkan bahwa tidak ditemukan cukup bukti patut dipertanyakan. Pasalnya, KPK telah menyerahkan sebanyak 645 barang bukti yang antara lain terdiri dari, hasil penyadapan, salinan percakapan antar terdakwa, hingga barang bukti berupa uang sebesar SGD 20.000 dari saksi Prasetyo Nugroho yang tidak lain merupakan asisten hakim Gazalba.
Selain itu, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang mengadili Sudrajad Dimyati justru memotong hukuman penjaranya dengan alasan pengabdian Sudrajad Dimyati kepada MA. Majelis justru mengabaikan fakta bahwa Sudrajad Dimyati justru menyalahgunakan jabatan dan kewenangannya untuk melakukan kejahatan.
Padahal, Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah memberikan dasar yang konkrit bagi hakim untuk memberat putusan tersebut. Sebab, regulasi itu menegaskan bahwa setiap pejabat publik yang melakukan kejahatan, hukumannya harus diperberat sepertiga, bukan justru dikurangi.
Kedua, putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri dan Tinggi Bandung kontraproduktif dengan upaya perbaikan marwah lembaga kekuasaan kehakiman di hadapan publik. Fenomena mafia peradilan merupakan salah satu indikator yang mengakibatkan merosotnya Indeks Persepsi Korupsi yang diperoleh Indonesia pada tahun 2022, di mana Indonesia hanya memperoleh poin 34/100 dan menduduki peringkat 110 dari 180 negara disurvei. “Respon” pengadilan melalui putusan kedua mantan hakim agung tersebut, justru melanggengkan dugaan keberadaan mafia peradilan.
Selain itu, rekam jejak dua orang tersebut ketika menjadi hakim MA juga patut disoroti. ICW mencatat setidaknya 26 terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas oleh MA. Dari kedua puluh enam terdakwa tersebut, Gazalba Saleh tercatat sebagai anggota majelis hakim yang memutus bebas 5 orang terdakwa korupsi.
Sementara gelagat perilaku koruptif Sudrajad Dimyati sendiri sudah terlihat sejak tahun 2013. Sudrajad pernah diduga berusaha menyuap anggota komisi III DPR RI dalam proses fit and proper test calon hakim agung. Setelah diperiksa oleh Komisi Yudisial, ia akhirnya gagal menjadi hakim agung pada tahun tersebut, meskipun ia tetap terpilih menjadi hakim agung kamar perdata setahun kemudian. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa proses seleksi calon hakim agung sendiri tidak mengedepankan nilai-nilai integritas.
Ketiga, selain putusan problematik dari kedua terdakwa tersebut, MA sendiri belum menunjukkan gelagat serius dalam melakukan perbaikan internal di lembaganya. Setidaknya sejak September 2022 hingga saat ini, belum ada informasi perbaikan tata kelola penanganan perkara di MA dan perbaikan pengawasan terhadap hakim agung, sebagai respon MA atas perkara mafia peradilan yang menjerat dua hakim agung ini.
Selain langkah perbaikan, MA juga seharusnya melakukan pemeriksaan secara mandiri atas peristiwa ini, untuk memastikan bahwa seluruh pihak di lingkungan lembaga peradilan tertinggi yang diduga terlibat dalam kasus tersebut, sudah diproses baik secara etika maupun pidana. Lebih jauh lagi, MA seharusnya lebih serius menindaklanjuti seluruh laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku untuk norma “Berperilaku adil”, “Berperilaku jujur”, dan “Berintegritas Tinggi”.
Jika dalam pemeriksaan atas laporan dugaan pelanggaran kode etik tersebut ditemukan indikasi tindak pidana, maka MA juga perlu mengambil langkah aktif untuk melaporkan dugaan tersebut kepada aparat penegak hukum. Sehingga peristiwa memalukan yang mencoreng kewibawaan lembaga kekuasaan kehakiman ini, tidak terulang lagi.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, ICW mendesak agar:
- KPK segera mengajukan upaya hukum lanjutan berupa banding dan kasasi terhadap masing-masing terdakwa;
- Mahkamah Agung sebagai judex juris, menganulir putusan majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada pengadilan negeri bandung dalam proses kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dari KPK; dan
- Komisi Yudisial segera memanggil dan memeriksa majelis hakim yang memberikan vonis bebas tanpa ada pertimbangan yang jelas kepada Gazalba Saleh serta Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi Bandung yang memotong masa pemidanaan Sudrajad Dimyati.