Menyoal Sanksi Ghufron: Tumpulnya Penegakan Etik dan Keharusan Pansel Mencoret dari Proses Seleksi
Momentum untuk mengembalikan citra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di mata publik kembali hilang. Hal ini menyusul setelah pada hari Jumat, 6 September 2024 lalu, Dewan Pengawas hanya memberikan sanksi ringan atas pelanggaran etik yang dilakukan oleh Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron. Sebagaimana diketahui, Ghufron hanya diberikan teguran tertulis agar dirinya tidak mengulangi perbuatannya dan pemotongan gaji sebesar 20 persen selama 6 bulan.
Putusan etik ini kian menunjukkan buruknya kinerja Dewas sebagai otoritas yang menegakkan etika dan perilaku untuk menjaga integritas di lembaga anti korupsi tersebut. Sebab, bukan hanya sekali Dewas menjatuhkan sanksi yang terbilang cukup ringan terhadap pelanggar etik dari unsur pimpinan. Firli Bahuri misalnya, yang pada tahun 2020 lalu pernah terbukti menunjukkan gaya hidup mewah dengan menyewa helikopter, akan tetapi hanya diberi sanksi ringan berupa teguran tertulis dan diminta tidak mengulangi perbuatannya. Selain itu, Lili Pintauli Siregar juga pernah hanya mendapatkan sanksi berupa pemotongan gaji, padahal dirinya terbukti melakukan komunikasi langsung dengan pihak yang sedang berperkara di KPK.
Seperti halnya dua putusan tersebut, ICW menilai bahwa putusan etik terhadap Ghufron seharusnya layak mendapatkan sanksi berat dengan hukuman maksimal berupa, “diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan” sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (3) Perdewas No. 3 Tahun 2021. Ada sejumlah poin yang mendasari argumentasi tersebut. Pertama, dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ghufron tergolong sebagai pelanggaran yang sangat serius. Ghufron, secara sadar menyalahgunakan wewenang, bahkan memperdagangkan pengaruhnya sebagai pimpinan KPK untuk membantu proses mutasi saudaranya, Andi Dwi Mandasari, yang merupakan pegawai di Kementerian Pertanian (Kementan).
Pada saat itu, Ghufron bahkan disebut secara proaktif berkomunikasi dan meminta secara langsung kepada Sekretaris Jenderal Kementan kala itu, Kasdi Subagyono, untuk menerima permintaan mutasi saudaranya tersebut, yang sebelumnya sempat ditolak. Kedua, akibat dari perbuatan Ghufron tidak hanya semakin merusak citra KPK, melainkan juga berdampak terhadap upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan juga nepotisme. Pada poin ini, ICW tidak sependapat dengan alasan Dewas tidak menjatuhkan sanksi berat kepada Ghufron, di mana perbuatan Ghufron dipandang hanya sekedar merugikan instansi, bukan negara.
Bisa dibayangkan, jika seorang pimpinan KPK tidak bisa memberikan contoh untuk menolak perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada korupsi, kolusi, dan nepotisme, maka besar kemungkinan di masa mendatang, tindakan Ghufron yang “cawe-cawe” atas keputusan yang menguntungkan dirinya atau keluarganya, akan dinormalisasi oleh pejabat negara lainnya.
Ketiga, Ghufron tidak kooperatif selama proses pemeriksaan etik berlangsung. Sikap ini ditunjukkan ketika Ghufron pernah mangkir dari proses sidang. Tidak hanya itu, lebih parahnya, dengan tujuan melakukan pembelaan diri, Ghufron bahkan melakukan sejumlah upaya hukum, mulai dari melaporkan Dewas kepada Polda Metro Jaya atas dugaan pencemaran nama baik, menggugat Dewas ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sampai mengajukan proses uji materi terhadap Peraturan Dewas mengenai kode etik dan kode perilaku ke Mahkamah Agung. Sederhananya, berbagai manuver Ghufron terlalu mengada-ngada dan amat mudah dipatahkan.
Meskipun dapat dipahami bahwa upaya-upaya hukum tersebut pada dasarnya merupakan hak Ghufron untuk melakukan pembelaan, akan tetapi, sebagai seorang penegak hukum, terlebih Wakil Ketua KPK, mestinya ia berani melakukan perlawanan dengan membuktikan bahwa tuduhan melanggar etik tidak benar dalam persidangan etik. Namun, ia justru makin membuat gaduh dan kian merusak citra lembaga antirasuah itu di mata masyarakat. Dalam kondisi itu, masyarakat tentu akan berpikir bahwa KPK hanya sibuk mengurus problem integritas komisionernya ketimbang melakukan penegakan hukum pemberantasan korupsi.
Maka dari itu, atas uraian di atas, ada beberapa poin yang penting untuk didesak, diantaranya:
- Nurul Ghufron harus segera mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Komisioner KPK. Secara legal formal, perbuatan ini dimungkinkan sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Selain itu, TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa juga sudah meminta para pejabat dengan sikap tercela untuk segera menanggalkan jabatannya. Lagipun, dengan kondisi saat ini, di mana keterpurukan KPK semakin kental, keberadaan pimpinan yang cacat etik sebenarnya tidak lagi diperlukan.
- Dewan Pengawas harus mengirimkan salinan putusan etik Nurul Ghufron kepada Panitia Seleksi (Pansel) Komisioner KPK. Hal ini penting agar Dewan Pengawas tidak hanya memendam persoalan Ghufron sebagai problem internal, akan tetapi juga mesti dikaitkan dengan kontestasi pemilihan Komisioner KPK yang sedang berlangsung. Bila sudah dikirimkan, maka tidak ada pilihan lain, Pansel harus mencoret Ghufron karena secara etik, ia tergolong bermasalah.