Menyoal Pengadaan Perangkat TIK untuk Digitalisasi Pendidikan
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI menggagas program digitalisasi pendidikan sejak 2019. Program ini tentu saja membutuhkan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung yang memadai, seperti akses internet dan perangkat teknologi. Atas dasar hal tersebut, pemerintah kemudian menjadikan pemenuhan dukungan digitalisasi pendidikan sebagai salah satu kegiatan strategis dalam APBN 2021, baik itu dalam anggaran pendidikan maupun pembangunan bidang Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK).
Direncanakan akan menelan anggaran Rp 17,42 triliun hingga 2024, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menjelaskan bahwa pada 2021 pemerintah menganggarkan Rp 3,7 triliun untuk belanja perangkat TIK. Anggaran tersebut dialokasikan dari anggaran Kemendikbudristek sebesar Rp 1,3 triliun (35%) dan sisanya, yaitu Rp 2,4 triliun (65%) dari Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik pendidikan. Tak hanya itu, Rp 1,4 triliun anggaran pendidikan dalam pos Dana Insentif Daerah (DID) juga akan diperuntukkan untuk mendukung digitalisasi pendidikan.
Rencana belanja pengadaan perangkat TIK, khususnya laptop, kemudian memicu polemik. Selain nominal anggarannya yang terbilang besar untuk dialokasikan di tengah adanya kebutuhan mendesak lain dalam pelayanan pendidikan, pemilihan penyedia dan spesifikasi laptop yang akan dibelanjakan Kemendikbudristek juga menjadi sorotan, misalnya pemilihan operating system chrome OS dan keharusan pemenuhan ketentuan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).
Berdasarkan rilis Kemendikbudristek pada 30 Juli 2021 diketahui bahwa belanja TIK selain ditujukan untuk mendukung digitalisasi pendidikan dan Merdeka Belajar, juga untuk mendukung penggunaan produk dalam negeri. Maka, penyedia disebut harus berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian sehingga produknya memenuhi ketentuan TKDN. Penggunaan produk dalam negeri yang dimaksud yaitu laptop berasal dari penyedia dalam negeri. Pemerintah juga tentu harus memperhatikan kewajaran harga dan kualitas produk selain mengedepankan semangat “memajukan” industri TIK dalam negeri. Jangan sampai, tujuan utama digitalisasi pendidikan kemudian terkikis akibat memaksakan tujuan mendukung industri TIK dalam negeri.
Persoalan lain yang perlu dicermati yaitu kesiapan akses internet dan listrik di daerah-daerah tertentu di Indonesia, khususnya daerah Terdepan, Terpencil, dan Terpinggirkan (3T). Faktanya, masih banyak sekolah yang jauh dari jangkauan akses tersebut. Sehingga menjadi pertanyaan, bagaimana pemerintah secara paralel menyiapkan akses pendukung ini dalam kerangka program digitalisasi pendidikan? Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informasi pada Juni 2020 lalu, terdapat sedikitnya 12.548 desa yang belum tersentuh internet. Dari informasi APBN 2021 juga diketahui bahwa terdapat 12.377 lokasi yang pada 2021 ini menjadi target pemerataan akses internet oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Pemetaan Potensi Masalah
Melalui tulisan ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan KOPEL Indonesia mengkaji secara singkat mengenai potensi masalah dalam pengadaan laptop dan perangkat TIK lain dalam rangka digitalisasi pendidikan. Langkah ini sebagai bagian dari peran publik dalam mengawasi program strategis pemerintah. Kajian ini juga sebagai dasar kami untuk memberi masukan kepada pemerintah agar mengkaji ulang program. Kaji ulang tersebut penting agar program dengan anggaran besar ini sesuai dengan kebutuhan lapangan dan tidak rentan korupsi atau sekedar menjadi proyek pengadaan yang tak banyak berdampak pada majunya pelayanan pendidikan di Indonesia.
Kami menyimpulkan bahwa masih terdapat kebutuhan mendasar dalam pelayanan pendidikan yang belum dijawab pemerintah. Sehingga, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan dan mengalokasikan anggaran pada keadaan yang lebih prioritas, yaitu infrastruktur sekolah yang rusak/tidak layak, terbatasnya ruang kelas, terbatasnya jumlah bangku sekolah negeri, tingginya angka anak putus sekolah, dan kebutuhan di tengah pandemi seperti kebutuhan kuota yang merata.
Agar program digitalisasi pendidikan efektif memajukan pendidikan dan tidak lagi-lagi meninggalkan pendidikan di daerah minim akses, program ini perlu diawali dengan pemerataan akses internet, listrik, guru, dan lainnya. Pemerintah, khususnya Kemendikbudristek, harus mengkaji ulang pengadaan perangkat TIK tersebut dan memprioritaskan penyediaan infrastruktur pendidikan yang layak untuk platform digital sebelum melangkah ke pengadaan perangkatnya.