Manuver Pengamanan Korupsi BTS 4G Kominfo
Proses persidangan korupsi BTS 4G Kominfo semakin menyingkap tabir pandora, karena fakta persidangan mulai menyingkap sejumlah nama yang disebut menerima uang puluhan miliar untuk pengamanan perkara. Nama-nama yang diduga menerima aliran dana pengamanan agar penyelidikan kasus BTS dihentikan, diantaranya Dito Ariotedjo, yang saat ini menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga, lalu staf Komisi I DPR, hingga oknum BPK RI.
Indikasi adanya dana pengamanan dalam persidangan dengan terdakwa Jhonny G. Plate, Irwan Hermawan, hingga Galumbang Menak di mana disebutkan, adanya upaya pengumpulan dan penyerahan dana dari konsorsium yang disebut sebagai commitment fee. Bahkan pada persidangan dengan terdakwa Irwan Hermawan, terungkap jika Komisaris PT Solitech Media Sinergy ini punya peran kunci dalam merencanakan dan mengawal proyek. Ibarat operator lapangan, Irwan bertugas sebagai perpanjangan tangan Anang Latief, Direktur BAKTI, dan Johnny G. Plate, Menteri Kominfo.
Hasil pengumpulan uang pengamanan dari konsorsium perusahaan dan rekanan (subkontraktor) proyek BTS 4G mencapai lebih dari Rp 240 miliar. Windi Purnama, Direktur PT Berdikari Sejahtera yang juga tersangka ikut membantu membagikan ke sejumlah pihak, diantaranya sebesar Rp 27 miliar ke Dito Ariotedjo melalui Resi Yuki, staf Galumbang Menak, Direktur PT Moratelindo. Selain itu, ada juga dana yang diserahkan ke Komisi I DPR sebesar Rp 70 miliar melalui Nistra Yohan, staf salah satu anggota anggota DPR. Serta diserahkan ke anggota BPK sebesar Rp 40 miliar melalui orang yang bernama Sadikin.
Kluster Baru Perkara Korupsi
Sesuai fakta persidangan, tergambar adanya kluster baru dalam penanaganan kasus korupsi BTS 4G yaitu dalam bentuk gratifikasi dan suap dalam rangka mempengaruhi penanganan perkara di Kejaksaan dihentikan. Setidaknya ada tiga catatan penting dari proses persidangan tersebut. Pertama, indikasi aliran dana ke Dito Ariotedjo yang dikuatkan oleh keterangan saksi di persidangan. Informasi ini tentu harus didalami penyidik Kejaksaan untuk mengungkap puzzle soal peran dan kewenangan Dito yang kala itu masih menjabat sebagai staf Menko Perekonomian.
Kedua, soal aliran dana ke Komisi I DPR dan BPK. Kejaksaan sepatutnya memeriksa pihak-pihak yang disebut menerima uang terkait proyek BTS 4G. Apalagi, dua instansi yang terkuak dalam persidangan ini punya kaitan yang cukup erat dengan proyek BTS 4G. Komisi I DPR merupakan rekan kerja Kominfo yang punya andil strategis karena menjalankan fungsi budgeting dan pengawasan. Begitu juga BPK, sebagai auditor negara memiliki kewenangan untuk memeriksa, namun hingga hari ini publik belum mendengar adanya pemanggilan pihak Komisi I DPR atau BPK.
Ketiga, Pentingnya keterlibatan Komisi Kejaksaan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengawasi proses hukum BTS Kominfo karena ada potensi keterlibatan anggota Kejaksaan terkait dana pengamanan. Hal ini berpijak dari kesaksian salah satu tersangka Edward Hutahaean yang mengaku kenal dengan anggota Kejaksaan yang mampu mengurus penghentian kasus
Selain tiga catatan di atas, Kedepan rasanya penting untuk mendorong Kejaksaan Agung untuk mengusut keterlibatan korporasi dalam kasus korupsi BTS 4G. Sejak adanya Perma No.13/2016, peluang menjerat korupsi korporasi semakin besar. Ketentuan tersebut mensyaratkan tiga hal untuk menjerat korporasi, yakni apakah korporasi tersebut menerima keuntungan dari tindak pidana, membiarkan tindak pidana terjadi, dan korporasi tidak mencegah terjadi tindak pidana. Sehingga, dalam penanganan dan dakwaan berikutnya penting penyidik Kejaksaan mendalami keterkaitan dan peran korporasi dalam kasus ini. Apalagi, sebagian besar tersangka dan terdakwa merupakan pihak swasta.***
Penulis: Tibiko Zabar P.
Editor: Agus Sunaryanto