Makan Gratis Pakai Anggaran Pendidikan: Tipu-Tipu Pemenuhan 20% APBN untuk Pendidikan

Sekolah Bebas Biaya

Pemerintah memperluas arah kebijakan pembangunan pendidikan tahun 2025 untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan anggaran Rp 71 triliun atau nyaris 10% dari anggaran pendidikan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai kebijakan tersebut tidak tepat.

 

Anggaran fungsi pendidikan tahun 2025 direncanakan Rp 722,6 triliun. Pemerintah menyebut bahwa alokasi anggaran tersebut memenuhi mandat pasal 49 UU Sistem Pendidikan Nasional yang mewajibkan negara untuk mengalokasikan minimal 20% APBN untuk pendidikan. Namun, anggaran tersebut juga termasuk anggaran program MBG.

MBG adalah program unggulan kampanye presiden terpilih Prabowo-Gibran dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024 yang diakomodir rezim Pemerintahan Joko Widodo. Presiden Jokowi yang 10 tahun gagal menjalankan mandat konstitusi atas pendidikan dasar tanpa pungut biaya memutuskan berbaik hati mengalokasikan anggaran untuk program yang dijanjikan Prabowo-Gibran.

 

Memangkas Anggaran Pendidikan

Jika anggaran MBG yang sebelumnya tak dikenal dalam postur anggaran pendidikan dikeluarkan dari anggaran pendidikan, alokasi APBN untuk pendidikan hanya 18% atau Rp 651,61 triliun. Tidak mencapai mandat minimal dan bahkan menurun dibandingkan dengan anggaran pendidikan tahun 2024 (Rp 665 triliun).

Diduga bahwa program MBG akan masuk dalam belanja pemerintah pusat untuk pendidikan dengan memangkas komponen anggaran lainnya. Dalam RAPBN 2025 yang dipublikasikan Kementerian Keuangan tercatat bahwa belanja pemerintah pusat untuk pendidikan meningkat Rp 58,6 triliun dari APBN 2024. Presiden Jokowi juga membentuk Badan Gizi Nasional yang diduga akan mengelola MBG.

Sumber: Advertorial RAPBN 2025 (Kemenkeu)

Namun bertentangan dengan kenaikan belanja pemerintah pusat untuk pendidikan, target Program Indonesia Pintar (PIP) dan Tunjangan Profesi Guru (TPG) non PNS menurun. Padahal, PIP dan TPG non PNS masuk dalam belanja pemerintah pusat yang anggarannya naik signifikan.:

  1. Target PIP menurun dari 20,8 juta siswa pada 2024 menjadi 20,4 juta siswa pada 2025.
  2. Target TPG non PNS menurun dari 577,7 ribu guru pada 2024 menjadi 477,7 ribu guru pada 2025.

 

Tiga Persoalan Utama

Masuknya anggaran MBG dalam postur anggaran pendidikan selayaknya mendapat kritik publik. Hal itu disebabkan tiga hal utama. Pertama, dalam RAPBN 2025 tidak terlihat penguatan komitmen pemerintah untuk penuntasan program wajib belajar yang dalam UU Sisdiknas disebut 9 tahun dan pemerintah menjanjikan untuk menaikkan menjadi 13 tahun. Pada kondisi ini, menjadi pertanyaan mengapa pemerintah justru menambah beban anggaran pendidikan untuk program yang tak secara langsung menjawab kebutuhan pendidikan dasar?

Target dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) stagnan, yaitu 345,7 juta siswa pada 2024 dan angka yang sama tertera dalam RAPBN 2025. Sedangkan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) PAUD hanya naik 0,1 juta peserta didik. Jika pemerintah menguatkan komitmen peningkatan akses pendidikan pada seluruh jenjang pendidikan, maka paling tidak terlihat ada kenaikan signifikan untuk BOS, PIP, KIP kuliah, ataupun BOP.

Kedua, penjabaran pemerintah mengenai tantangan pendidikan Indonesia tidak ada satupun yang berkaitan secara langsung dengan peningkatan akses dan kualitas pembelajaran pada pendidikan, khususnya pendidikan dasar. Pemerintah mengidentifikasi terdapat enam tantangan pendidikan, yaitu rendahnya skor Programme for International Student Assessment (PISA), indikator Human Capital Index (HCI), rata-rata lama sekolah, kompetensi guru, partisipasi PAUD serta perguruan tinggi, dan tingginya pengangguran lulusan vokasi.

Idealnya, anggaran pendidikan yang sebelumnya sudah tercerai berai untuk berbagai kepentingan kali ini benar-benar diprioritaskan untuk memenuhi hutang negara atas kewajiban konstitusional pendidikan dasar. Lebih dari itu, untuk menjawab tantangan masa depan dan mimpi Indonesia Emas 2045, pemerintah juga seharusnya mulai menunjukkan komitmen yang nyata memperluas akses pendidikan menengah hingga tinggi.

Ketiga, target penerima MBG tak relevan dengan pelayanan pendidikan. Selain peserta didik, program ini diperuntukkan untuk anak balita dan ibu hamil atau menyusui beresiko anak stunting. Apabila pemerintah hendak memperbaiki gizi anak dan ibu hamil yang saat ini masih menjadi persoalan, pemerintah seharusnya tak mencampuradukkan dengan anggaran pendidikan yang semestinya merujuk pada UU No. 20 Tahun 2003. UU Sisdiknas sama sekali tidak menyinggung gizi. Persoalan ini lebih relevan dengan isu pangan atau kesehatan.

 

ICW menduga dimasukkannya anggaran MBG ke anggaran pendidikan semata dikarenakan pendidikan merupakan sektor dengan porsi anggaran besar. Pemerintah mengabaikan banyak hal dan secara serampangan asal memasukkan anggaran MBG dalam anggaran pendidikan. Sehingga terkesan bahwa pemerintah telah menjalankan mandat anggaran minimal 20% APBN untuk pendidikan dan di sisi lain juga menunaikan janji politik pemerintahan mendatang, yaitu Prabowo-Gibran, yang tidak lain merupakan anak Presiden Jokowi.

Oleh karena itu, ICW mengkritik keras alokasi anggaran MBG dari anggaran pendidikan dan menuntut pemerintah untuk melakukan evaluasi demi anggaran pendidikan yang benar-benar konstitusional. Pemerintah era Jokowi patut disebut tak benar-benar mengalokasikan anggaran minimal 20% untuk pendidikan. Kebijakan ini juga bertentangan dengan evaluasi penganggaran pendidikan yang belakangan semakin memanas. Bahkan, Komisi X DPR RI membentuk panitia kerja (panja) pembiayaan pendidikan untuk menelusuri benang kusut gagalnya negara mengelola pendidikan hingga menyebabkan polemik Uang Kuliat Tunggal (UKT) mahal dan pungutan di sekolah.
 

Jakarta, 30 Agustus 2024

Indonesia Corruption Watch

 

Narahubung

Almas Sjafrina

*apabila anda tertarik untuk mendapat publikasi ICW sektor pendidikan atau lainnya, mohon untuk mengisi form ini atau menginformasikan melalui pprb@antikorupsi.org.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan