Kelangkaan Minyak Goreng: Sesat Kebijakan Menyengsarakan Rakyat, Menguntungkan Korporasi Sawit

Kelangkaan Minyak Goreng
Gambar oleh ICW

Masalah kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng muncul sejak akhir tahun 2021. Kendati pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mengatasinya, namun hingga Maret 2022 kelangkaan minyak goreng masih tetap ditemukan. Ada kebijakan pemerintah yang mendorong kelangkaan namun menguntungkan korporasi sawit.

Semenjak permasalahan minyak goreng muncul, pemerintah sedikitnya telah mengeluarkan tiga kebijakan dalam waktu berdekatan. Kebijakan tersebut antara lain mengatur subsidi minyak goreng menggunakan dana perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Sawit, dan Domestic Market Obligation (DMO) atau kewajiban perusahaan untuk memasok produksi bagi pasar dalam negeri. Seluruhnya diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan. 

Sedikitnya terdapat tiga kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Pertama, mensubsidi minyak goreng kemasan dengan dana perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Kedua, yaitu Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Sederhana Untuk Kebutuhan Masyarakat Dalam Kerangka Pembiayaan Oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang kemudian diubah menjadi Permendag Nomor 3 Tahun 2022, dan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Sawit.

Akan tetapi kebijakan tersebut belum mampu menjawab permasalahan. Pada Maret 2022 antrian minyak goreng masih terjadi. Sebelumnya, bahkan ada dugaan terdapat penimbunan di berbagai tempat. Alih-alih mencari akar permasalahan, pemerintah justru mencurigai warga melakukan penimbunan minyak goreng. 

Selain kebijakan yang telah disebutkan, terdapat kebijakan pemerintah yang diduga secara langsung ataupun tidak langsung memicu kelangkaan serta kenaikan harga minyak goreng. Kebijakan tersebut adalah Program Mandatori Biodiesel 30% (B30). Program tersebut diatur melalui Peraturan Menteri ESDM No.32 tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai bahan bakar. 

Program B30 berbentuk insentif bagi pengusaha yang mencampur biodiesel dengan BBM jenis solar melalui program B30. Insentif didapat dari negara melalui BPDPKS dan telah berlangsung sejak Januari 2020. Akan tetapi program tersebut mendorong pengusaha untuk mengalihkan produksi CPO dari industri pangan ke biodiesel, sehingga timbul masalah dalam produksi minyak goreng. 

Pada tahun 2020, insentif bagi pengusaha mencapai Rp 28,09 triliun. Pada tahun 2021, besaran melonjak hingga Rp 51,95 triliun Sedikitnya 27 korporasi telah menerima insentif tersebut dan berpotensi bertambah di masa yang akan datang.

Insentif bagi Korporasi Besar yang Kerap Bermasalah

Hasil penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan sejumlah korporasi tersebut tergabung dalam grup besar perusahaan sawit. Grup tersebut antara lain Wilmar Group, Sinar Mas Group, Apical Group, First Resources, dan Musim Mas Group. Terdapat juga perusahaan yang tergabung dalam Jhonlin Group, yang dikenal sebagai perusahaan batubara.

Sejumlah grup perusahaan tidak terlepas dari rekam jejak kontroversial. Sinar Mas Group pernah disebut-sebut bertanggungjawab atas kebakaran hutan untuk pembukaan lahan perkebunan. Perusahaan yang bertanggungjawab tersebut diduga tergabung dalam Sinar Mas Group melalui Asia Pulp & Paper (APP). APP menguasai 27 perusahaan perkebunan lokal yang mempekerjakan pegawai Sinar Mas. Adapun perusahaan sawit milik Wilmar Group sempat diselidiki oleh Kepolisian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam kebakaran hutan dan lahan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menemukan Wilmar Group paling banyak membakar hutan. Dua eksekutif Wilmar juga pernah dihukum dalam kasus insider trading

Apical Group merupakan grup perusahaan yang terafiliasi dengan konglomerat Sukanto Tanoto. Royal Golden Eagle (RGE) yang didirikan oleh Sukanto Tanoto membawahi Apical Group. Greenpeace Indonesia menyebut sejumlah kerusakan hutan dan lahan di Indonesia memiliki kaitan dengan operasional bisnis Sukanto Tanoto. Sukanto Tanoto pernah terjerat skandal kasus perpajakan di Indonesia.

Jhonlin Group merupakan grup perusahaan yang terafiliasi dengan konglomerat Haji Isam. PT Jhonlin Agro Jaya adalah perusahaan Jhonlin Group yang memproduksi CPO menjadi Biodiesel. Presiden RI Joko Widodo menghadiri peresmian perusahaan tersebut. Adapun Jhonlin sempat disebut-sebut dalam kasus suap pajak.

Perusahaan sawit yang mendapat insentif terafiliasi dengan orang-orang terkaya se-Indonesia, serta memiliki rekam jejak negatif dalam kebakaran hutan dan lahan juga kasus hukum. Hal tersebut menjadi ironi jika melihat publik mengalami kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng, sementara korporasi tersebut tidak bertanggungjawab atas rekam jejak negatif dan justru berpotensi mendapat keuntungan melalui insentif yang dijamin oleh kebijakan pemerintah.

 

 

Penulis: Egi Primayoga

Editor: Adnan Topan

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan