KASN Dibubarkan, Netralitas ASN di Ujung Tanduk?
Jakarta, 10 Oktober 2023. Revisi UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang disahkan pada 3 Oktober 2023 lalu menyisakan persoalan mendasar yang berdampak besar pada upaya reformasi birokrasi.
Pembubaran KASN: Langkah Mundur Reformasi Birokrasi
Hilangnya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dalam revisi UU ASN merupakan langkah mundur reformasi birokrasi. Tak hanya itu, dibubarkannya KASN juga merupakan bentuk pengabaian terhadap rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum yang telah diserahkan ke Presiden Joko Widodo (September, 2023). Tim yang dibentuk Kemenko Polhukam tersebut merekomendasikan penguatan peran KASN untuk mengawasi seleksi pejabat publik daerah.
Kebijakan baru ini membuat persoalan terkait dengan ASN dan birokrasi makin jauh dari perbaikan. Persoalan tersebut misalnya terkait fenomena jual beli jabatan hingga netralitas ASN yang rawan dipolitisasi, utamanya menjelang dan dalam perhelatan pemilu. Pembubaran ini menguatkan politisasi birokrasi dan birokrasi berpolitik, persoalan yang mengemuka pada pemilu selama ini. Hilangnya KASN akan membuka lahan subur bagi praktik jual-beli jabatan terkait promosi, mutasi, dan demosi jabatan pimpinan tinggi dan/atau ASN di lingkup Pemda sebagai salah satu modus korupsi kepala pada era otda-pasca reformasi
Dalam upaya reformasi birokrasi, KASN mempunyai peran penting dan strategis. Sebagai lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik, KASN berperan mengawal netralitas ASN dan berwenang mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, mulai dari pembentukan panitia seleksi instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi.
KASN selama ini tidak dibekali dengan kewenangan yang mumpuni dalam menjalankan tugas dan fungsinya. KASN sekadar memberikan rekomendasi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Apabila tidak ditindaklanjuti oleh PPK, maka KASN bisa memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan sanksi kepada kepada PPK yang tidak menindaklanjuti Keputusan KASN. Karena itu, Revisi UU ASN seharusnya memperkuat kewenangan KASN dan sistem pengawasan-pembinaan terhadap kinerja kepala daerah sebagai PPK, bukan menghilangkan KASN
Hilangnya KASN juga menjadi semakin krusial mengingat model birokrasi Indonesia yang menempatkan pejabat politik sebagai atasan birokrasi menjadi faktor pendorong politisasi ASN. Fungsi Pengawasan dan menjaga meritokrasi terlalu besar jika hanya dilekatkan kepada Kemenpan. Self Evaluation tidak memadai, perlu pengawas independen untuk mencegah pemanfaatan ASN bagi kepentingan politik tertentu atau Menjadi mesin politik bagi penguasa. Seleksi terbuka yang dikawal KASN untuk memberi kesempatan kepada yang berkompeten menempati posisi sesuai bidangnya memperkecil adanya praktek kolusi, kompromi dan nepotisme. Dengan dibubarkannya KASN maka penjamin pelaksanaan sistem merit yang mengedepankan kualifikasi dan kompetensi dalam rekrutmen akan melemah. Kualifikasi dan Kompetensi menjadi kunci dalam pelayanan publik.
Ketika Kepala Daerah terpilih mempunyai kewenangan dan/atau kekuasaan dalam rekrutmen, penugasan, transfer, maupun promosi ASN, akan menempatkan posisi ASN yang tidak secure. Banyak kasus menunjukkan intervensi pada rekrutmen dan penempatan ASN. Tahun 2022, Laporan KASN menyebut menerima pengaduan 2073 atas netralitas KASN. KASN membantu mengembalikan ratusan ASN ke jabatan semula/setara karena penonjoban yang tidak sesuai peraturan perUU oleh PPK. Gangguan dan intervensi Politik pada ASN akan berpengaruh pada kinerja dalam memberikan pelayanan publik.
Fragmentasi dalam Birokrasi jika terkotak-kotak dalam berbagai kepentingan politik akan mempengaruhi kualitas pelayanan publik. Pelayanan publik harus adil dan dapat diakses oleh semua kelompok dan golongan dalam Masyarakat “ Spoil System” menjadikan Pelayanan Publik menjadi mahal dan rawan korupsi.
Abai Terhadap Persoalan TNI/ Polri Aktif Duduki Jabatan Sipil
Terkait TNI/Polri dalam revisi UU ASN seharusnya menghapus ketentuan yang dapat memberi ruang kepada anggota TNI/Polri untuk menduduki jabatan ASN di instansi sipil. Bukan sebaliknya, mempertahankan bahkan memperkuatnya. Penting untuk dipahami bahwa pada tataran konsepsi, di dalam negara demokrasi terdapat pembagian ruang secara tegas antara ranah militer, ranah kepolisian dan pemerintahan sesuai dengan rasion d’etre (alasan keberadaannya). Ranah militer hakikatnya terletak pada persoalan peperangan, di mana keberadaan militer ditujukan untuk menghadapi perang atau ancaman dari luar negara. Ranah kepolisian hakikatnya terletak pada persoalan penegakan hukum, dimana keberadaan kepolisian ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat. Sedangkan hakikat keberadaan pemerintah ditujukan untuk memberi pelayanan kepada masyarakat. Karena itu, dengan konsepsi tersebut, maka memberi ruang kepada anggota TNI/Polri untuk menduduki jabatan-jabatan ASN di instansi sipil menjadi tidak tepat karena menyalahi hakikat keberadaannya.
Tetap dipertahankannya ketentuan yang mengatur anggota TNI/Polri dapat menduduki jabatan ASN bertentangan dengan UU TNI/Polri, khususnya terkait penghapusan Dwi Fungsi ABRI yang dimandatkan dalam TAP MPR 1998. Selama ini, ketentuan dan UU ASN tersebut sering digunakan sebagai dasar kebijakan untuk mengkaryakan perwira TNI/Polri aktif pada jabatan-jabatan sipil bahkan juga politik (penjabat kepala daerah). UU TNI dan UU Polri sesungguhnya telah menegaskan bahwa anggota TNI/Polri yang menduduki jabatan sipil harus pensiun, kecuali pada jabatan-jabatan yang ditentukan di dalam UU tersebut. Namun, penting diingat ketika dirumuskan pada awal transasi politik, ketentuan tersebut merupakan hasil kompromi politik saat itu, sehingga secara perlahan seharusnya mulai dikurangi, bukan sebaliknya diperkuat.
Ketentuan pasal yang mengatur tentang pembolehan anggota TNI/Polri dapat mengisi jabatan ASN seharusnya dihapus dalam revisi UU ASN, mengingat hal tersebut menimbulkan sejumlah persoalan tidak hanya terhadap agenda reformasi TNI/Polri, tapi juga agenda reformasi birokrasi dan perbaikan pelayanan publik di instansi sipil.
Dalam konteks TNI, penempatan anggota TNI pada jabatan ASN berpotensi menimbulkan tarik menarik kewenangan/yurisdiksi jika anggota TNI tersebut terlibat tindak pidana, apakah ia tunduk pada peradilan umum atau peradilan militer, mengingat hingga saat ini belum ada revisi terhadap UU 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Berdasarkan UU tersebut, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana militer dan tindak pidana umum diadili di peradilan militer. Hal ini tentu menghambat upaya penegakan hukum terhadap prajurit TNI yang ada di jabatan sipil ketika terlibat dalam tindak pidana.
Penempatan anggota TNI/Polri pada jabatan-jabatan ASN juga berpotensi berdampak negatif terhadap pengelolaan jenjang karir ASN dan masuknya militerisme ke dalam instansi sipil. Penempatan perwira TNI aktif dalam jabatan TNI mengabaikan spesialisasi, kompetensi, pengalaman, serta masa pengabdian ASN di instansi terkait. Selain mengacaukan pola rekrutmen dan pembinaan karir ASN yang seharusnya diatur ajeg dan berjenjang, hal tersebut juga akan mengakibatkan terjadinya demotivasi di kalangan ASN dalam konteks jenjang karir dan kepangkatan di instansinya.
Ray Rangkuti _LINGKAR MADANI INDONESIA (LIMA)
Gufron Mabruri_ The Indonesian Human Rights Monitor (IMPARSIAL)
Adnan T. Husodo_TIM PERCEPATAN REFORMASI HUKUM
Herman Suparman_KOMITE PEMANTAUAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH (KPPOD)
Almas Sjafrina_INDONESIA CORRUPTION WATCH (ICW)
Medelina K. Hendytio_CENTRE FOR STRATEGIC AND INTERNATIONAL STUDIES (CSIS)
Bejo Untung_PUSAT TELAAH DAN INFORMASI REGIONAL (PATTIRO)
Ervin Kaffah_ FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN (FITRA