Ironi Pendidikan Jadi Lahan Korupsi

ironi pendidikan: kejujuran vs kecurangan

Pada bulan Agustus 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Prof. Dr. Karomani, Rektor Universitas Lampung (UNILA) melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT). Karomani disangkakan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dengan sangkaan menerima suap dalam penyelenggaraan ujian mandiri di Unila dengan meminta uang 100 juta hingga 350 juta kepada orangtua calon mahasiswa.

Atas dasar pengembangan kasus di UNILA, KPK juga melakukan penggeledahan di beberapa Universitas lain diantaranya Universitas Tirtayasa Banten (UNTIRTA), Universitas Riau (UNRI) dan Unversitas Syiah Kuala Aceh (USK).

Praktik korupsi di dunia pendidikan tentu sangat ironis karena Lembaga Pendidikan yang sejatinya mengajarkan nilai-nilai kejujuran, keadilan dan antikorupsi  justru dinodai oleh praktek korup pimpinannya. Praktek suap ujian mandiri di Perguruan Tinggi Negeri ini pastinya akan membatasi akses calon mahasiswa lain yang berprestasi namun lemah secara ekonomi karena haknya terampas kecurangan dengan modus “seleksi jalur mandiri”.

Bisa dibayangkan jika praktek lancung tersebut telah dilakukan setiap tahun maka sudah banyak hak warga negara yang kehilangan akses secara fair untuk menikmati fasilitas pendidikan yang memadai bahkan mungkin kehilangan harapan meraih masa depan yang lebih baik.

Lembaga Pendidikan baik sekolah maupun perguruan tinggi merupakan ekosistem yang seharusnya dibangun untuk mampu melahirkan generasi yang berkualitas dan antikorupsi sebagai penerus bangsa. Apa jadinya jika ruang tersebut malah jadi lahan basah bagi praktik korupsi.

Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), kasus korupsi Pendidikan di Indonesia yang ditangani penegak hukum dari tahun 2016 – September 2021 jumlahnya cukup siginifikan. Pelaku yang terjerat banyak berlatarbelakang Aparatur Sipil Negara (ASN) khususnya Dinas Pendidikan sebanyak 288 orang atau 46,3% dari 421 tersangka. Kemudia aktor terkorup di peringkat kedua berlatarbelakang jabatan Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah sebanyak 157 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Ruang Gelap Jalur Seleksi Mandiri Perguruan Tinggi Negeri

Selama ini proses penerimaan mahasiswa baru berlaku dua jalur, yaitu penerimaan Mahasiswa secara nasional dan melalui jalur seleksi mandiri. Adapun syarat penerimaan mahasiswa baru secara nasional melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) mengacu pada nilai akademik dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) mengacu pada hasil ujian tertulis berbasis komputer (UBTK) dan kriteria lain yang ditetapkan bersama perguruan tinggi lainnya. Kemudian untuk seleksi mandiri sendiri mendapat kuota maksimal 30 persen dari total mahasiswa yang akan diterima. 

Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, setiap PTN diberikan keleluasaan untuk mengatur seleksi sesuai kepentingan PTN sendiri. Keleluasaan dalam memberikan persyaratan dan wewenang dalam memberikan nilai dan kelulusan inilah yang dimanfaatkan oleh pejabat di PTN untuk mencari keuntungan.

Pada sisi lain meskipun telah ditetapkan kuota 30 persen ternyata tetap tak seimbang dengan peminat yang begitu banyak. Akhirnya muncul favoritisme, kekerabatan bahkan berlaku “mekanisme pasar”, siapa yang berani membayar lebih besar akan lolos seleksi mandiri.

Persoalan jalur seleksi mandiri tentunya harus segera dibenahi karena berpotensi akan menjalar pada bidang-bidang lain mengingat kedepan Perguruan Tinggi akan bertransformasi menjadi berbadan hukum sesuai UU 12 tahun 2012. PTN berbadan hukum meskipun sebagian anggaran tetap ditanggung negara namun sebagian lain akan diberikan kewenangan mencari pendanaan sendiri. Artinya, jika tata kelola dan integritas pimpinannya tidak terjaga tentu korupsi akan menjadi wabah dan biaya pendidikan tidak akan terjangkau. 

Perlu Perbaikan Sistem

Perbaikan sistem seharusnya tidak menunggu momentum adanya kasus korupsi. Gejala ini harusnya dapat diprediksi lebih dini dengan melakukan pengawasan dan evaluasi berkala. Beberapa perbaikan yang harus dilakukan adalah dengan menciptakan iklim kampus yang transparan dan demoktaris.

Pengelolaan anggaran harus benar-benar terbuka dan transparan, sumber pendanaan kampus yang berasal dari luar seperti uang kuliah tunggal (UKT) perlu diawasi secara ketat baik dari sisi penerimaan dan pemanfaatannya.

Posisi pengawasan yang diperankan badan tertinggi di universitas, yakni Majelis Wali Amanat (MWA) PTN perlu diperkuat dengan meningkatkan independensi dan kewenangan dalam mengawasi. Keanggotaan MWA PTN menurut PP Nomor 51 Tahun 2015 justru didominasi unsur pimpinan kampus seperti Rektor, tentu ini menimbulkan potensi konflik kepentingan. Bagaimana harus mencegah korupsi jika praktik korupsi justru dilakukan oleh Rektor sendiri.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah meredam kapitalisme akademik yang mulai berkembang dikalangan PTN. Model pendanaan PTN seharusnya tidak mengutamakan uang kuliah mahasiswa menjadi sumber utama. Biaya PTN yang tinggi justru memperburuk akses kepada pendidikan tinggi, meminggirkan keadilan serta minim inklusivitas. Kampus harus memikirkan sistem pendanaan lain yang tidak membebani mahasiswa dengan biaya kuliah yang tinggi.

 

 

Penulis: Sigit Wijaya

Editor: Agus Sunaryanto

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan