Intrik Presiden di Balik Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK
Dikabulkannya permohonan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, terhadap pengujian UU KPK oleh Mahkamah Konstitusi (MK) semakin menghancurkan lembaga anti rasuah tersebut. Alih-alih memperkuat KPK, melalui putusan No.112/PUU-XX/2022, MK malah memperpanjang masa jabatan pimpinan dari empat tahun menjadi lima tahun. Alhasil, sebagaimana ditegaskan oleh juru bicara MK, putusan tersebut pada akhirnya ditafsirkan mulai berlaku untuk kepemimpinan saat ini.
Putusan tersebut tentu tidak memiliki kadar konstitusionalitas sedikit pun. Betapa tidak, periodisasi masa jabatan pimpinan KPK sejatinya merupakan open legal policy dan hal tersebut merupakan kewenangan absolut dari pembentuk peraturan undang-undang, bukan MK. Terlebih, masa jabatan selama empat tahun tidak bisa dikatakan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, pimpinan KPK terpilih, dilantik dengan masa jabatan yang pasti sebagaimana diatur dalam UU KPK.
Pertimbangan MK juga menyatakan jika menggunakan skema masa jabatan pimpinan KPK selama lima tahun, maka seleksi pengisian masa jabatan pimpinan KPK periode 2024-2029, akan dilakukan oleh presiden dan DPR periode berikutnya (2024-2029), tentu tidak dapat diterima oleh nalar. Bila dihitung berdasarkan masa habis jabatan, Presiden dan DPR baru akan berakhir pada Oktober 2024, sementara jabatan pimpinan KPK akan berakhir pada Desember 2024. Jika mengikuti alur pikir hakim MK yang demikian, maka pertanyaannya, apakah mungkin proses seleksi calon Pimpinan KPK dilakukan dalam jangka waktu kurang dari tiga bulan? Artinya, seleksi masih dalam masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Atas putusan itu, ditambah dengan krisis integritas dan potensi konflik kepentingan yang melanda MK, maka tak berlebihan muncul asumsi publik jika putusan MK kali ini seolah sudah diketahui oleh pemerintah. Sinyalemen ini terlihat dari pemerintah yang terkesan mengulur waktu membentuk panitia seleksi (pansel) Pimpinan KPK periode 2023-2027. Padahal merujuk pada empat tahun lalu, pemerintah telah membentuk pansel tanggal 17 Mei 2019.
Namun kali ini, melalui Menteri Sekretariat Negara, Pratikno, beberapa hari sebelum putusan MK mengatakan Pemerintah akan segera menunjuk pansel untuk merombak kepemimpinan KPK. Pertanyaan pun timbul dan berseliweran di benak masyarakat, mengapa Presiden tak langsung membentuk pansel bertepatan dengan waktu empat tahun lalu?
Tak lama putusan MK berselang, mudah ditebak, pemerintah melalui Wakil Menteri Hukum dan HAM langsung muncul dengan mengatakan bahwa Presiden akan segera meneken Keppres untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK. Jika perpanjangan masa jabatan Firli Bahuri tetap dilakukan dengan mengikuti maksud putusan MK maka tak salah jika publik menganggap bahwa Pemerintah membiarkan KPK mengalami destruksi berkepanjangan. Mulai dari Revisi UU KPK, memilih Firli, dan mendiamkan pemberhentian puluhan pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan . Sikap Presiden itu sudah barang tentu akan dicatat dan diingat oleh masyarakat sebagai peninggalan terburuk jelang lengsernya kekuasaan.
Terakhir, berdasarkan Pasal 6 UU KPK disebutkan bahwa lembaga antirasuah itu bertugas dalam fungsi penegakan hukum melalui skema penindakan serta pencegahan. Tak satu pun pasal itu mengatakan bahwa KPK dapat digunakan sebagai instrumen hukum kekuasaan. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan lain, Presiden harus memberhentikan Firli pada Desember mendatang dan segera membentuk pansel untuk mencari Pimpinan KPK mendatang dengan masa kepemimpinan lima tahun sebagaimana dimandatkan oleh MK.