Evaluasi Satu Tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (2020)

Penguatan Semu Pemberantasan Korupsi
Sumber foto: Kompas

Masa depan pemberantasan korupsi semakin terancam. Implikasi atas berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut Revisi UU KPK) benar-benar telah merubah arah politik hukum anti korupsi. Alih-alih menguatkan, legislasi tersebut faktanya telah mereduksi berbagai kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak cukup di situ, problematika pemilihan hingga pelantikan komisioner periode 2019-2023 juga menjadi satu hal yang sangat krusial. Betapa tidak, KPK saat ini terlihat lebih sering menunjukkan kontroversi, ketimbang menuai prestasi.

Rentetan pelemahan yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR terhadap KPK juga bermuara pada menurunnya kepercayaan publik kepada lembaga anti rasuah tersebut. Terbukti, sepanjang tahun 2020, setidaknya lima lembaga survei (Alvara Research Center, Indo Barometer, Charta Politica, Lembaga Survei Indonesia, dan Litbang Kompas) mengonfirmasi hal tersebut. Hal ini baru, sebab, dalam sejarah berdirinya KPK, lembaga ini selalu mendapat kepercayaan tinggi dari publik.

Namun, menurunnya kepercayaan publik sebenarnya sudah diprediksi sejak jauh-jauh hari. Pada tahun 2019, publik sudah mengingatkan Pemerintah dan DPR bahwa kebijakan pemberantasan korupsi yang dilakukan akan menciptakan situasi stagnasi bagi penegakan hukum. Misalnya, dalam konteks Revisi UU KPK, legislasi itu telah mengikis pondasi utama lembaga pemberantasan korupsi, yakni independensi.

Sebagaimana amanat pasal 6 UNCAC yang telah diratifikasi melalui UU 7/2006 yang menyatakan lembaga antikorupsi bersifat independen dan terbebas dari kepentingan manapun. Bukan hanya kooptasi kelembagaan pada rumpun eksekutif semata, bahkan, status kepegawaian turut terkena imbasnya. Dalam waktu dekat, seluruh pegawai KPK akan segera bertransformasi menjadi aparatur sipil negara. Ditambah lagi dengan pembentukan Dewan Pengawas yang justru semakin memperlihatkan ketidakpahaman dari pemangku kepentingan terhadap suplemen pemberantasan korupsi.

Dalam aksi demonstrasi #ReformasiDikorupsi medio Oktober 2019 lalu, publik juga sudah mewanti-wanti agar Presiden Joko Widodo dan DPR mengurungkan niat untuk memilih para komisioner yang memiliki rekam jejak bermasalah. Namun, saran itu seakan dianggap angin lalu saja. Saat ini kekhawatiran publik itu pun terbukti, tatkala mayoritas persoalan-persoalan di KPK bersumber dari para komisioner terpilih itu sendiri. Mulai dari pelanggaran etik, menunjukkan gimik politik, sampai pada permintaan kenaikan gaji yang juga diikuti pembelian mobil dinas. Sehingga, wajar saja, jika beberapa akademisi sudah mulai memikirkan untuk meninggalkan KPK dari gerbong pemberantasan korupsi.

Mempertanyakan Upaya Pemberantasan Korupsi Indonesia

Berlandaskan berbagai literatur, Indonesia masih belum sepenuhnya menaruh perhatian pada sektor pemberantasan korupsi. Misalnya saja pada temuan Transparency International yang menempatkan Indonesia pada peringkat 85 dari 180 negara dan memiliki skor 40 dalam indeks persepsi korupsi tahun 2019. Tak berhenti disitu, temuan Global Corruption Barometer Indonesia dari Transparency International Indonesia di tahun 2020 juga menghasilkan kesimpulan bahwa kinerja pemerintah dianggap stagnan pada sektor pemberantasan korupsi.

Pada bagian lain, khusus sektor penegakan hukum, temuan Indonesia Corruption Watch juga serupa. Dalam tren penindakan tahun 2019, terdapat penurunan signifikan atas penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum. Selain itu, pada sektor peradilan pun belum menunjukkan perbaikan, rata-rata hukuman bagi terdakwa perkara korupsi sepanjang tahun 2019 hanya berkisar 2 tahun 7 bulan penjara.

Di tengah kemerosotan pemberantasan korupsi di Indonesia, sangat disayangkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan DPR malah menambah asupan negatif dengan melemahkan KPK. Berbagai regulasi yang dipandang dapat menguatkan penindakan perkara korupsi hingga saat ini tak kunjung diundangkan. Maka dari itu, menjadi hal yang wajar jika sejak awal publik skeptis terhadap komitmen eksekutif maupun legislatif.

Dari sisi pemenuhan komitmen global, Pemerintah Indonesia juga dipandang belum serius dalam memenuhi komitmen global seperti UNCAC. Dari 32 rekomendasi dari hasil review UNCAC putaran pertama, Indonesia baru menyelesaikan sekitar 8 rekomendasi sedangkan dari 21 rekomendasi hasil review putaran kedua, Indonesia baru menyelesaikan sekitar 13 rekomendasi. KPK mengidentifikasikan ada 6 isu prioritas yang perlu diselesaikan dari rekomendasi Review UNCAC Putaran I dan II Indonesia, antara lain sebagai berikut: Penyelesaian Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor); Peningkatan Transparansi dan Integritas Sektor Publik dan Penguatan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi; Peningkatan Transparansi dan Integritas Sektor Swasta; Penyelesaian Revisi Undang-Undang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (MLA); Penguatan Independensi dan Kelembagaan Lembaga Anti Korupsi; dan Penyelesaian Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.

Maka dari itu, bertepatan dengan satu tahun kepemimpinan Komisioner KPK periode 2019-2023, Indonesia Corruption Watch dan Transparency International Indonesia akan memberikan catatan kritis. Adapun cacatan ini akan menyoal beberapa hal, mulai dari arah politik hukum pemberantasan korupsi, implikasi revisi UU KPK, kebijakan pemangku kepentingan yang bertolak belakang dengan kesepakatan internasional, dan empat hal melingkupi tugas KPK (penindakan, pencegahan, pengelolaan internal, dan monitoring penyelenggaraan negara).

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan