Dominasi Penegak Hukum dalam Komposisi Pimpinan KPK Terpilih: Babak Baru Pelemahan Komisi Anti Korupsi

Liputan6.com/Delvira Hutabarat
Liputan6.com/Delvira Hutabarat

Setelah melalui tahapan seleksi yang panjang, akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki nahkoda baru. Alih-alih sesuai dengan ekspektasi masyarakat, kontestasi pemilihan Pimpinan KPK berujung anti klimaks dan amat sangat mengecewakan. Sebagaimana diketahui Komisi III DPR RI baru saja menentukan 5 (lima) orang figur yang akan memimpin KPK, yakni, Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Setyo Budiyanto sebagai Ketua, dan Fitroh Rohcahyanto (Jaksa aktif), Johanis Tanak (Pensiunan Jaksa/Petahana), Ibnu Basuki Widodo (Hakim), serta Agus Joko Pramono (Mantan Wakil Ketua BPK) sebagai pimpinan. 

Bukannya menjadi harapan bagi perbaikan tata kelola kelembagaan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, pimpinan terpilih justru diyakini sebaliknya, bahkan berpotensi kian berdampak buruk bagi lembaga. Argumentasi ini bukan tanpa alasan jika mencermati sejumlah isu dalam penentuan pimpinan KPK ini.

Pertama, pemilihan figur tidak didasarkan pada aspek kompetensi dan rekam jejak kandidat, melainkan sekadar penilaian dan selera subjektif dari anggota komisi hukum DPR. Sinyal ini sudah bisa diprediksi saat proses uji kelayakan, di mana mayoritas pertanyaan untuk melihat pandangan kandidat mengenai revisi UU KPK pada tahun 2019 lalu dan mekanisme penindakan yang dilakukan oleh KPK melalui metode Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Mudah ditebak, Pimpinan KPK terpilih merupakan kandidat yang jawabannya sangat kontra-produktif dengan semangat pemberantasan korupsi, misalnya, Setyo hingga Agus menyebutkan KPK masih perlu menerapkan OTT, namun perlu dibatasi dan selektif. Paling parah, Tanak yang secara gamblang berjanji menghapus OTT ketika dirinya terpilih kembali menjadi pimpinan. Sontak, pernyataan tersebut mendapatkan apresiasi dari para anggota Komisi III DPR RI. Momen itu sangat menggambarkan kesesatan pikir dari para anggota dewan dalam melihat penindakan pemberantasan korupsi. 

Tidak hanya itu, aspek kompetensi beberapa kandidat terpilih juga patut dipertanyakan. Misalnya Fitroh yang menyebut revisi UU KPK pada tahun 2019 lalu tidak berdampak terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Sama halnya dengan Ibnu yang dengan lantangnya menyebut revisi UU KPK tidak melemahkan KPK secara institusi. Bahkan menariknya ia memberikan contoh mengenai penyadapan yang disebut harus dilakukan atas seizin Dewan Pengawas (Dewas) terlebih dulu. Ibnu dalam konteks ini tidak memahami dan terlihat asal berbicara. Sebab, kewenangan Dewas untuk memberikan izin penyadapan sudah dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XVII/2019 yang diputus sejak tahun 2021 lalu. 

Kedua, komposisi pimpinan terpilih didominasi figur-figur dari klaster aparat penegak hukum. Tak tanggung-tanggung, empat dari lima pimpinan terpilih merupakan penegak hukum, baik aktif maupun purna tugas. Jika hanya mundur dari jabatan seperti yang tertuang dalam Pasal 29 huruf i UU KPK, bukan tidak mungkin mereka akan punya loyalitas ganda. Akibatnya, setiap tindakan yang nanti mereka ambil akan bias dengan kepentingan institusi asal.Sebagai catatan, Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK menjelaskan bahwa salah satu subjek dari proses hukum yang ditangani oleh KPK adalah aparat penegak hukum Pertanyaan reflektif yang muncul adalah, apakah pimpinan  dapat bertindak objektif dan imparsial jika pada masa mendatang KPK mengusut dugaan tindak pidana korupsi di instansi asalnya?

Atas dasar permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, ICW mendesak agar pimpinan KPK terpilih yang berasal dari penegak hukum tidak hanya mengundurkan diri dari jabatannya, melainkan juga mengundurkan diri dari instansi asal, baik kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung. 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan