Demokrasi Tidak Boleh Ditarik Mundur: Tolak Wacana Pengembalian Pilkada oleh DPRD!

Sumber gambar: Kompas.com

Wacana untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kian mencuat. Pada Juli 2025, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar menyampaikan usulan tersebut. Ide ini terus bergulir, dan kembali disampaikan oleh Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia di hadapan Presiden Prabowo Subianto dalam momentum hari jadi Partai Golkar ke-61 pada 5 Desember 2025. Hingga saat ini Partai Gerindra dan PAN juga sudah menyatakan dukungan terhadap usulan tersebut.

Pelaksanaan Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat dianggap membutuhkan biaya yang tinggi dan dihinggapi oleh banyaknya praktik politik uang. Sehingga para elit politik berpandangan bahwa Pilkada oleh DPRD dapat mengatasi dua masalah tadi.

Dilihat dari sisi manapun, wacana ini tidak beralasan dan justru mengandung logika yang mengkhawatirkan. Pertama, biaya yang dikeluarkan negara untuk pelaksanaan Pilkada tidak dapat begitu saja dilihat sebagai bentuk pemborosan yang kemudian menghalalkan penghapusan partisipasi publik dalam pemilihan. Bila dibandingkan, dana hibah dari APBD untuk pelaksanaan Pilkada 2024 yang ditaksir berjumlah Rp37 Triliun masih lebih kecil dari biaya penyelenggaraan pemilu 2024 yang mencapai Rp71,3 Triliun. Bila besarnya anggaran adalah tolak ukur, apakah Pemilihan Presiden dan Legislatif yang juga diselenggarakan secara langsung juga harus diubah mekanismenya?

Di sisi lain, anggaran Pilkada 2024 bahkan jauh lebih kecil dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) di tahun 2025 yang mencapai Rp71 Triliun. Tetapi program yang sarat akan masalah tata kelola itu bahkan tidak dipandang pemerintah sebagai pemborosan dan justru dinaikkan anggarannya hingga lima kali lipat untuk tahun berikutnya. Ini menunjukan bahwa besarnya anggaran bukanlah masalah sesungguhnya yang sedang diangkat oleh pemerintah. Sebab dengan logika yang sama, maka ada banyak program prioritas pemerintah dengan anggaran jumbo yang perlu dihentikan. 

Kedua, Pilkada secara langsung oleh rakyat justru dilakukan untuk meminimalisir praktik transaksional yang banyak terjadi ketika sebelumnya kepala daerah dipilih oleh DPRD. Jadi, secara runtutan, bukan pelaksanaan pilkada langsung yang menimbulkan praktik politik uang. Tetapi pilkada langsung justru dihadirkan untuk mengatasi politik uang yang terjadi secara tertutup dan minim akuntabilitas ketika DPRD memiliki kewenangan untuk memilih kepala daerah. Mengembalikan mekanisme pilkada oleh DPRD artinya sengaja meletakkan pemilihan kepala daerah pada mekanisme yang sudah pasti lebih merugikan.

Dalam menyuarakan wacana ini pemerintah tidak pernah hadir dengan kajian mendalam tentang bagaimana DPRD dapat menghasilkan kepala daerah yang berkualitas. Sebab, selain histori buruk mengenai pelaksanaan pilkada oleh legislatif daerah, anggota DPRD juga tidak terlepas dari kerentanan dalam melakukan korupsi. Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukan bahwa sepanjang tahun 2010-2024 terdapat 545 anggota DPRD yang terjerat kasus korupsi. Artinya pilkada oleh DPRD justru tidak dapat menghilangkan praktik politik uang dan justru berpotensi meningkatkan ruang transaksi politik yang tidak dapat diawasi oleh masyarakat. 

Ketiga, ekosistem pembiayaan politik yang berkontribusi pada terjadinya lingkaran korupsi politik. Sejak tahap awal pelaksanaan Pilkada, partai kerap menuntut mahar yang harus disetor pasangan calon untuk mengamankan tiket dukungan partai. Dukungan partai pun tidak merujuk pada kompetensi kandidat, melainkan condong pada popularitas yang dapat mempermudah pengumpulan suara. 

Modal besar yang sudah dikeluarkan di awal menjadikan hasrat untuk memenangkan kontestasi semakin tinggi. Akibatnya pengumpulan sumbangan dana kampanye dari berbagai pihak termasuk pebisnis dan pemodal besar lainnya harus dilakukan. Ketika kepala daerah terpilih, biaya besar pun masih harus dikeluarkan. Diantaranya untuk iuran kepada partai, membayar hutang ke pemodal, hingga mempersiapkan biaya untuk kontestasi pada periode berikutnya. Hal ini yang kerap menjadikan kepala daerah terjerat kasus korupsi. 

Dengan keseluruhan masalah tersebut, gagasan yang diusung pemerintah jelas tidak menyasar perbaikan sistem kepemiluan serta pembiayaan politik secara utuh. Terlebih, yang dilakukan pemerintah saat ini adalah mensimplifikasi permasalahan yang berada dalam ranah sistem dan manajemen pilkada menjadi sebatas tingginya biaya yang diperlukan. Padahal demokrasi memang tidak pernah berharga murah, dan partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpinnya bukanlah beban yang patut ditawar. 

Tanpa upaya serius untuk melihat masalah sebenarnya, maka pemerintah telah abai pada kepentingan untuk melindungi kedaulatan rakyat. Lebih lanjut, pemerintah justru sedang memfasilitasi terjadinya politik transaksional yang berdampak pada tergerusnya kualitas demokrasi dalam pelaksanaan Pilkada mendatang.

Indonesia Corruption Watch

30 Desember 2025

Narahubung:

Seira Tamara (Staf Divisi Advokasi ICW)


 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan