Zona Merah Penegakan Hukum

Sepertinya penegakan hukum di negeri ini sedang terancam memasuki kondisi darurat alias zona merah. Langkah menuju zona merah tersebut dapat dilacak dari performance penegakan hukum yang semakin bergerak menuju titik nol.

Sepanjang semester pertama tahun ini misalnya sejumlah peristiwa cukup memberi gambaran betapa tidak banyak kemajuan yang dapat diraih dalam penegakan hukum. Pengalaman yang terjadi dalam beberapa waktu cukup untuk membuktikan bahwa penegakan hukum sedang menuju zona merah.

Misalnya banyak skandal besar yang menunggu proses penegakan hukum secara sungguh-sungguh justru tenggelam dalam himpitan skandal baru. Contoh konkret yang dapat dikemukakan, sejauh ini skandal Century yang mendapat dukungan publik dan politik seperti lenyap ditelan bumi.

Nasib tidak jauh berbeda juga mewarnai skandal mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan. Contoh lain munculnya ketakutan membongkar segala penyimpangan termasuk upaya membongkar skandal korupsi.

Dalam hal ini menarik menelisik proses penjatuhan hukuman bagi Agus Condro, sebagai orang yang membongkar skandal suap dalam proses pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, hakim gagal menempatkan Agus Condro sebagai whistleblower.

 Kegagalan itu tentunya menjadi berita buruk untuk berpartisipasi dalam mengungkap kasus korupsi. Ketakutan serupa semakin bertambah dengan diterimanya kasasi jaksa dalam kasus Prita Mulyasari.

Benteng Terakhir

Hakim dan pengadilan menjadi benteng terakhir agar proses hukum dapat bekerja secara benar. Bila hakim dan pengadilan “bobol”, hampir dapat dipastikan bahwa proses penegakan hukum akan mengalami kehancuran.

Karena itu, dalam batas-batas tertentu,publik melihat bahwa penegakan hukum bergerak menuju zona merah yang dipicu rapuhnya sebagian hakim. Salah satu kejadian yang membuat banyak pihak makin ragu menatap masa depan penegakan hukum dapat dilihat dari skandal tertangkap tangannya seorang hakim bernama Syarifuddin Umar.

Meski langkah mendorong perubahan di lingkungan peradilan telah berlangsung lebih dari satu dekade,kejadian yang menimpa Syarifuddin tersebut menyadarkan publik bahwa sesungguhnya tidak banyak perubahan terjadi.Bila mau mengakui secara jujur, perilaku menyimpang sebagian penegak hukum justru makin masif dan terstruktur.

Bukti tambahan yang mengukuhkan penilaian itu misalnya dalam hitungan hari pascakasus Syarifuddin, KPK kembali menangkap Imas Dianasari hakim ad-hoc di Bandung.

Bagaimanapun,penangkapan tersebut makin menambah jumlah penegak hukum (termasuk hakim) yang tertangkap tangan ketika “memperdagangkan” kewenangan yang dimiliki untuk mendapatkan keuntungan sesaat.

Demi keuntungan itu pula mereka tanpa ragu menggadaikan kehormatan dan keluhuran jabatan yang disandang sebagai penegak hukum. Bahkan, di atas itu semua, sadar atau tidak, mereka makin menggerus asa publik terhadap masa depan masa depan penegakan hukum.

Dalam berbagai perspektif, tertangkap tangannya dua hakim tersebut tidak sekadar memberikan tamparan atas wajah penegakan hukum terutama dunia peradilan, tetapi sekaligus menyadarkan publik betapa tidak mudahnya keluar dari jebakan judicial corruption.

Pertanyaannya,bila untuk wilayah hukum yang selalu berada di fokus sorotan publik (seperti Jakarta dan Bandung) penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan masih begitu mudah terjadi, bagaimana dengan daerah yang jauh dari sorotan publik?

Beberapa waktu lalu ketika langkah membersihkan penegak hukum dari segala bentuk penyelewengan akan dilakukan, masalah kesejahteraan penegak hukum menjadi isu sentral. Karena itu,sejalan dengan upaya reformasi penegak hukum, dilakukan perbaikan kesejahteraan di antaranya dengan memberikan remunerasi.

Namun, setelah berjalan sekian lama, perbaikan kesejahteraan tidak sepenuhnya menjadi jawaban.Yang harus segera dipikirkan, bagaimana keluar dari krisis moral akut yang melanda sebagian penegak hukum.

Intervensi Politik
Selain kerusakan moral sebagian penegak hukum, penegakan hukum terperosok ke zona merah antara lain disebabkan adanya intervensi politik. Jamak diketahui, dalam beberapa waktu terakhir,sulit dibantah, sepertinya “tangan-tangan politik”menjadi begitu mudah menjamah proses hukum.

Bukti yang paling sederhana,setiap orang yang memiliki posisi politik kuat, hukum seperti tidak mampu bekerja normal. Bahkan ada banyak bukti yang dapat dikemukakan: hukum mengalami mati suri menghadapi mereka yang mempunyai posisi politik kuat. Sadar dengan posisi demikian, banyak mereka yang mempunyai masalah mencari langkah berlindung ke tempattempat yang memiliki posisi politik kuat.

Jamak diketahui, tempat yang nyaman untuk berlindung itu seperti partai politik yang memiliki kekuatan dominan,merapat ke pemerintah yang sedang berkuasa,atau berlindung kepada mereka yang memiliki kekuatan ekonomi kuat.Sejauh ini,diakui atau tidak, kekuatan-kekuatan itulah yang paling dominan dalam melumpuhkan penegakan hukum.

Bentuk intervensi politik lain yang membawa penegakan hukum memasuki zona merah adalah menggunakan kuasa politik untuk melemahkan langkah penegakan hukum. Setidaknya langkah ke arah ini dapat dilacak dengan adanya gejala mengamputasi upaya penegakah hukum dengan menggunakan fungsi legislasi.

Sejumlah revisi undangundang yang terkait langsung dengan penegakan hukum sedang bergerak menjauh dari cita-cita reformasi. Bukti paling mutakhir, langkah DPR yang merevisi UU Mahkamah Konstitusi dinilai dapat menimbulkan disfungsi salah satu pemegang kekuasaan kehakiman ini.

Penting untuk dicatat, jika kita gagal menghentikan pergerakan penegakan hukum memasuki zona merah, negeri ini segera berada di tubir jurang kehancuran. Setidaknya membiarkan penegakan hukum memasuki zona merah berarti merelakan negeri ini jatuh ke pelukkan para mafioso.
SALDI ISRA Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 11 Juli 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan