Ya..., Apa Kata Dunia...?

Hari giini, tidak bayar pajak..., apa kata dunia...?” Begitulah teriakan sejumlah bintang iklan, personifikasi pekerja kelas menengah, orang-orang berkesadaran tinggi atas kewajibannya sebagai warga negara yang taat membayar pajak.

Intinya, iklan itu mengajak masyarakat untuk membayar pajak dengan baik dan benar, sekaligus ejekan bagi mereka yang tidak membayar pajak. Soalnya, banyak orang yang disinyalir tidak membayar pajak sesuai ketentuan. Padahal, pajak bukan saja menjadi andalan utama sumber penerimaan untuk belanja negara. Pajak juga idealnya menjadi instrumen fiskal untuk pembangunan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Iklan itu mungkin cukup ampuh membangun kesadaran masyarakat untuk memenuhi kewajibannya. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pajak, penyerahan surat pemberitahuan (SPT) tahunan Pajak Penghasilan sampai batas akhir tanggal 31 Maret 2010 mencapai 5.910.629 SPT. Jumlah itu naik 29,75 persen dibandingkan dengan kinerja periode yang sama tahun lalu, 4.555.274 SPT.

Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2010, belanja negara yang dibiayai dari penerimaan perpajakan telah mencapai 71 persen. Sebaliknya, porsi pembiayaan dari utang luar negeri kian menyusut.

Menurut pandangan ekonom senior Faisal Basri dalam analisis ekonominya beberapa waktu lalu, betapa perpajakan kian penting—yang menunjukkan bahwa kita semakin mandiri—terlihat juga dari porsinya yang mencapai 78 persen dari keseluruhan penerimaan negara.

Namun, menurut Faisal, apabila ditilik dari indikator nisbah pajak atau tax ratio (persentase penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto) yang hanya 12,4 persen, pencapaian sejauh ini masih sangat tertinggal dari negara tetangga. Reformasi perpajakan dan birokrasi yang menyertainya dalam empat tahun terakhir tampaknya belum berimbas pada peningkatan nisbah pajak.

Bahkan, dalam Rancangan APBN Perubahan 2010, justru tax ratio diturunkan dari target APBN 2010, yakni dari 12,4 persen menjadi 11,7 persen. Alasannya, nominal PDB naik dari Rp 5.981,37 triliun menjadi Rp 6.259,745 triliun. Atas dasar itu, penerimaan perpajakan diusulkan Rp 733,2 triliun. Target awal Rp 742,7 triliun.

Orang yang memiliki penghasilan lebih banyak pajaknya juga lebih besar. Pajak-pajak itu dikumpulkan sedikit demi sedikit sebagai pendapatan negara kemudian dibelanjakan lagi oleh negara untuk membayar gaji pegawai negeri sipil, tentara, polisi, presiden, wakil presiden, dan menteri. Pajak itu pula yang dipakai untuk membiayai kegiatan rutin pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan dan pelayanan kepada rakyat. Pajak itu jugalah yang dipakai pemerintah untuk membiayai pembangunan fisik, seperti membangun jalan, jembatan, irigasi pengairan, dan puskesmas.

Dengan demikian, orang yang taat membayar pajak sesuai ketentuan bukan saja bijak seperti jargon Ditjen Pajak, ”orang bijak taat membayar pajak”; lebih dari itu, mereka telah menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab, bersikap dan berperilaku mulia.

Ah, andai saja semua orang—tentu yang memang terkena kewajiban—membayar kewajiban pajaknya sesuai ketentuan, dan pajak itu tidak dikorupsi, boleh jadi bangsa ini tak perlu berutang kiri-kanan, mengemis kepada bangsa lain, untuk membiayai pembangunan kesejahteraan rakyat. Pajak-pajak itu bisa digunakan untuk membuka lapangan pekerjaan sehingga mengurangi penganggur, memberantas kemiskinan.

Oleh karena itu, orang-orang yang tidak membayar pajak sesuai ketentuan termasuk golongan masyarakat yang melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang baik. Mereka juga melakukan tindak kriminal dan pantas dihukum.

Hukuman lebih keras tentu lebih wajib lagi hukumnya dikenakan kepada oknum-oknum pajak yang masih gemar menilap pajak, padahal negara sudah memberinya remunerasi yang jauh lebih besar ketimbang pegawai negeri sipil lainnya.

Tentu saja pembayar pajak yang taat memenuhi kewajibannya sangat kesal, jengkel, ketika masih muncul ”tikus-tikus” perpajakan. Lihatlah ketika kasus makelar pajak yang diduga melibatkan aparat pajak Gayus Tambunan terkuak, komentar miring pun bermunculan di sejumlah media arus utama ataupun media sosial. Gayus berstatus pegawai negeri golongan tiga dengan gaji pokok tidak sampai 5 juta rupiah, tetapi memiliki uang puluhan miliar di rekening banknya—itu baru yang terlacak—sungguh merobek rasa keadilan masyarakat.

Simak pula fakta yang diungkapkan Dirjen Pajak Tjiptardjo. Pada periode Januari-Maret 2010, sudah 200 pegawai Ditjen Pajak, termasuk Gayus, yang dikenai sanksi karena ”main-main” pajak. Sanksi itu mulai dari paling ringan berupa peringatan hingga terberat berupa pemberhentian secara tidak hormat. Gayus diberhentikan tidak hormat.

Tidak heran kalau muncul anekdot begini: kalau orang tak punya banyak teman, itu namanya ”gak gaul”; kalau sudah lama bekerja, tetapi tidak kaya juga... itu namanya ”gak gayus”.

Bersihkan semua! Begitu perintah Presiden.

Kita tunggu. Hanya sapu yang bersih yang bisa membersihkan sesuatu yang akan disapu bersih. Jika tidak, ya..., apa kata dunia?
Oleh Andi Suruji
Tulisan ini disalind ari Kompas, 10 April 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan