Whistle Blowing, Fitnah, dan Cari Selamat

Pada Rabu kemarin seorang sahabat mengirim pesan kepada saya. ”Sebaiknya Anda tak ikut-ikut mengkritik pemerintah, fokuslah pada pembenahan tugas yudikatif dan membersihkan korupsi di lingkungan lembaga yang Anda pimpin.

Jangan sampai ada whistle blower (peniup peluit) yang ingin membantu untuk mengungkap korupsi di lembaga Andamalahdikriminalisasi,” demikian pesan itu. Pesan itu bukan hanya benar, melainkan juga bijak.Saya memang punya penyakit sulit diam dan suka terpancing oleh wartawan untuk mengkritik siapa pun yang menurut saya harus dikritik, meski masalahnya tak terkait langsung dengan tugas saya.

Jadi,pesan sahabat itu benar dan bijak. Benar dan bijak juga isi pesan itu bahwa seorang whistle blower atau pemberi informasi dan pelapor terjadinya tindak pidana harus dilindungi,jangan malah didorong ke situasi sulit karena dikriminalisasi, misalnya dituduh membuat berita bohong.

Tetapi terkait dengan whistle blowing, tanpa bermaksud meremehkan kebijakan dan nilai mulia dari pesan itu haruslah dipahami bahwa sebenarnya kita belum memiliki undang-undang tentang perlindungan bagi whistle blower. Yang kita miliki barulah UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang secara yuridis- konseptual tidak sama dengan whistle blower.

Meskipun begitu,demi cara berhukum yang beradab,kita harus terima keniscayaan melindungi whistle blower itu tanpa harus ada undang- undang resmi lebih dulu. Tetapi harus diingat,whistle blowing itu berbeda dengan fitnah. Whistle blowing adalah informasi terjadinya tindak pidana yang diungkap atau dilaporkan oleh seorang pengungkap (whistleblower) kepadayang berwenang atau yang berwajib agar diproses secara hukum.

Data informasinya harus akurat, laporannya harus resmi dan jelas,bukan dipidatokan atau disiarkan di media massa padahal belum ada bukti pendukungnya. Jika ada dugaan tindak pidana yang tak didukung bukti,tidak dilaporkan ke institusi yang harus bertindak dan langsung diumumkan ke publik melalui tulisan terbuka; maka hal itu jauh dari konsep yuridis tentang whistle blowing, namun cenderung memfitnah dan merongrong.

Memang bisa saja pengumuman ke publik yang tak dilaporkan langsung itu bukan fitnah dan ada benarnya.Maka itu,whistle blower yang seperti itu harus tetap dilindungi, tetapi tetap harus menjernihkan dan turut membuktikan apa yang diumumkannya kepada publik tentang terjadinya tindak pidana itu.

Caranya, beri dia fasilitas untuk membuktikan dengan caranya sendiri disertai jaminan perlindungan keamanan, baik selama maupun sesudah melakukan upaya menggali bukti-bukti itu. Kalau ternyata hasilnya hanya fitnah dan sensasi yang merongrong maka si whistle blower harus bertanggung jawab, sekurang-kurangnya secara moral, dengan mengakui bahwa apa yang diumumkannya kepada publik tidak benar.

Bagi saya, laporan yang disampaikan secara diam-diam segera ditindaklanjuti secara diam-diam, sedangkan yang dilaporkan ke publik harus pula diselesaikan secara terbuka kepada publik. Saya kira inilah cara bernegara dan berhukum yang beradab, beradab bagi yang terkena fitnah dan beradab bagi yang (mungkin) memfitnah.

Masih ada soal lain yang terkait dengan whistle blowing ini.Saya menyetujui pendapat para hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa seorang pelapor yang terlibat dalam kejahatan yang dilaporkannya tetaplah harus dikenai sanksi pidana, meskipun––atas kebijaksanaan hakim, hukumannya bisa diberi keringanan.

Seperti diketahui, pada medio tahun 2010 MK memeriksa pengujian (judicial review) isi UU Perlindungan Saksi dan Korban terhadap UUD 1945. Pemohonnya meminta agar MK membatalkan sebagian isi UU tersebut sepanjang ketentuan bahwa orang yang melaporkan terjadinya kejahatan yang turut dilakukannya tetap bisa dihukum, meskipun bisa diberi keringanan.

Pemohonnya menginginkan agar pelapor atas kejahatan yang ikut dilakukannya harus dibebaskan dari hukuman. Saya mendukung pendapat para hakim MK yang menolak permohonan itu. Kalau pelapor terjadinya suatu kejahatan yang ikut dilakukannya dibebaskan dari hukuman maka bisa membuka kemungkinan munculnya pelapor yang mengaku sebagaiwhistle blower, tetapi sebenarnya hanya mencari selamat secara tidak fair.

Misalnya,bisa saja ada orang melakukan kejahatan secara bersama-sama, kemudian melaporkan kejahatan itu dengan tujuan dia sendiri selamat dari hukuman, sedangkan temantemannya dihukum.Hal seperti ini tentu bertentangan dengan asas maupun tujuan hukum, bahkan bisa menjadi celah munculnya orang yang mengajak orang lain untuk melakukan tindak pidana, untuk kemudian, setelah hasil kejahatan selesai dia melaporkan orangorang yang diajaknya melakukan kejahatan.

Memang ada pendapat lain bahwa jika pelapor tentang kejahatan yang ikut dilakukannya masih dihukum juga maka kejahatan akan sulit diungkap karena tidak akan ada orang yang mau menjadi whistle blower.

Pandangan seperti ini, menurut saya, tidak sesuai dengan filosofi perlindungan bagi whistle blower sebab argumennya tetap lebih lemah jika dibandingkan dengan risiko munculnya pelapor yang hanya ingin mencari selamat dari hukuman atas kejahatan yang ikut dilakukannya dengan mengorbankan orang-orang lain yang ikut atau diajak melakukan kejahatan itu.
MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 25 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan