Wakil Tuhan
Patrialis Akbar tentu tidak akan menjadi pesakitan seandainya ia paham bahwa dirinya adalah "wakil Tuhan". Pekan-pekan ini kita melihat, melalui sejumlah kesaksian yang muncul dalam persidangan, bagaimana sebagai hakim-kedudukan yang mendapat julukan "wakil Tuhan"-ia menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi, demi kenikmatan pribadi.
Tanpa predikat "wakil Tuhan" pun, posisi seorang hakim tidak sama dengan penegak hukum lainnya. Ia pengadil, di tengah, memiliki tempat lebih tinggi daripada siapa pun di ruang sidang. Pada ujung palunya diletakkan nasib seseorang. Dan, sebelum palu itu diketuk, dengan segenap akal dan hati nurani, ia telah menimbang semuanya: hukuman atau kebebasan yang akan ia ketukkan. Itulah sebabnya di ruang sidang ia selalu dipanggil "Yang Mulia". "Saya selalu salat tahajud sebelum mengambil putusan apakah orang itu layak dihukum mati atau tidak," kata seorang hakim senior yang namanya, pada 1990-an, terkenal di Pengadilan Negeri Tangerang karena kerap memvonis mati pengedar narkotik.
Tak mudah tentu menjadi "wakil Tuhan", apalagi pada zaman saat semua informasi, kebutuhan, serta keinginan demikian menggoda dan gampang didapat hanya dengan menyentuhkan ujung jari di layar gadget. Mungkin hal itu pulalah salah satu "musuh" besar bagi hakim. Jika berhasil mengalahkan musuh tersebut, ia memang pantas mendapat panggilan "Yang Mulia". Sebaliknya, jika gagal, ia segera berkubang dalam comberan.
Di ruang sidang, kesaksian itu membuat siapa pun mengelus dada. Hakim Patrialis Akbar menerima suap ratusan juta rupiah, meminta penggugat mempengaruhi hakim lain, hingga membelikan baju mewah dan mobil untuk perempuan simpanannya. Ihwal dakwaan menerima suap, ia berkukuh menyangkal. Tapi ada yang ia akui: pergi bermain golf atas fasilitas orang lain. Ia berdalih tak tahu bahwa fasilitas yang diberikan itu berasal dari pihak yang perkaranya tengah ia tangani.
Kode etik hakim tak menyebutkan hakim dilarang bermain golf. Kode Etik Hakim Konstitusi menekankan bahwa hakim mesti menjaga dan menunjukkan sikap independen. Kode etik itu merujuk pada The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002 yang menegaskan prinsip-prinsip hakim, antara lain independensi, integritas, ketakberpihakan, kesetaraan, serta kepantasan dan kesopanan.
Di sini muncul pertanyaan, sejauh mana seorang hakim bisa dipercaya mampu menjaga dirinya di lapangan golf? Mampu memegang teguh integritas dan kepantasan seperti digariskan dalam The Bangalore Principles? Dalam kasus Patrialis, ia membicarakan kasus yang ditanganinya-menurut jaksa, termasuk memberikan draf putusan perkara-di lapangan golf dengan mereka yang beperkara. Lapangan golf-di tengah ataupun ujungnya-kita ketahui sebagai tempat yang sempurna untuk membicarakan sesuatu yang bagi orang lain terlarang untuk didengar.
Hakim sesungguhnya hidup dalam dunia sunyi. Dalam kesunyian, ia memiliki waktu lebih banyak untuk berbicara dengan hati nuraninya. Ketika memilih atau setuju dipilih menjadi hakim, sesungguhnya ia telah mengambil risiko berat: "mengucilkan" diri dari pergaulan yang selama ini ia jalani. Semakin tinggi jabatan sebagai hakim, semakin ketat pengucilan itu ia lakukan. "Saya sendiri yang membatasi pergaulan saya, bukan kode etik, karena yang bisa mengawasi saya adalah saya sendiri," kata seorang hakim yang, sejauh ini, dikenal sebagai sosok yang bersih.
Baru-baru ini, Mahkamah Agung membuka pendaftaran bagi para calon hakim. Masih diperlukan sekitar1.500 hakim untuk mengisi formasi di seluruh pengadilan di Indonesia. Mereka, para calon hakim (biasa disingkat "cakim"), menempuh berbagai tes saringan yang ketat sebelum masuk pusat pendidikan hakim. Tentu mereka anak-anak pintar yang dengan baik menguasai diktat-diktat ilmu hukum karena syarat lulus seleksi adalah batas indeks prestasi minimal.
Tapi itu semua tak cukup. Hal yang paling penting bagi mereka adalah integritas yang mesti ada atau ditanamkan sejak duduk di ruang pendidikan calon hakim. Integritas bahwa menjadi hakim adalah pilihan, bukan karena tiada pilihan lain. Menjadi hakim adalah memilih jalan yang jauh dari hiruk-pikuk karena di sanalah hati nurani harus selalu diasah. Juga, sebagai hakim, apa pun alasannya, tak akan termaafkan jika menyalahgunakan jabatan-sekecil apa pun. Tanpa memahami itu semua, seleksi ini akan percuma. Kita hanya akan menyemai hakim yang kelak cuma memelihara The Bangalore Principles di bibir mereka.
Lestantya R. Baskoro, Wartawan Tempo
---------------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 18 Agustus 2017 dengan judul "Wakil Tuhan".