Vonis Ringan Nurhadi: Pengadilan Tinggi Harus Membatalkan Putusan Pengadilan Tipikor!

Sumber foto: Detikcom

Pekan lalu, mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, dan menantunya, Rezky Herbiyono, dijatuhi vonis 6 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta akibat praktik korupsi yang dilakukan oleh keduanya. Hakim beranggapan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap dan gratifikasi senilai  Rp 49,5 miliar. Namun, sayangnya, putusan ini bertolakbelakang dengan ekspektasi publik yang menginginkan terdakwa dijatuhi vonis maksimal atau pidana penjara seumur hidup.

Sebagai wujud implementasi dari pemaknaan korupsi sebagai extraordinary crime dan financial crime, semestinya setiap tindakan atau keputusan aparat penegak hukum dapat berpijak pada dua hal itu. Sehingga dampak yang dapat dirasakan kemudian adalah pemberian efek jera kepada pelaku kejahatan sekaligus mengirimkan sinyal kepada masyarakat agar tidak melakukan praktik kotor tersebut. Sedangkan terhadap isu ekonomi sendiri, putusan hakim juga mesti menjatuhkan hukuman yang mengarah pada pemiskinan pelaku kejahatan korupsi. Sebab, filosofi seseorang melakukan praktik korupsi sudah barang tentu mengarah pada penambahan harta kekayaan.

Melihat pola kejahatan yang dilakukan oleh Nurhadi, rasanya tak salah jika publik menarik kesimpulan bahwa praktik mafia peradilan di Indonesia masih terus berjalan. Betapa tidak, berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2005 tentang Sekretariat Mahkamah Agung disebutkan bahwa tugas Sekretariat Mahkamah Agung terbatas pada menyelenggarakan koordinasi dan pembinaan dukungan teknis, administrasi, organisasi, dan finansial kepada seluruh unsur di lingkungan Mahkamah Agung dan Pengadilan di semua lingkungan Peradilan. Praktis aturan itu tidak membenarkan seorang Sekretaris Mahkamah Agung turut ikut campur dalam penanganan perkara. Namun, yang dilakukan oleh Nurhadi justru sebaliknya, menjadikan perkara-perkara hukum sebagai bancakan dengan memanfaatkan jabatan yang diembannya.

Putusan itu setidaknya menggambarkan perkara-perkara yang dijadikan objek korupsi puluhan miliar rupiah oleh dua orang terdakwa, diantaranya: 1) PT MIT melawan PT KBN; 2) gugatan Azhar Umar melawan Hiendra Soenjoto; 3) Handoko Sutjitro di Pengadilan Surabaya; 4) Renny Susetyo Wardhani di Mahkamah Agung; 5) Donny Gunawan di Pengadilan Surabaya, Pengadilan Tinggi Surabaya, dan Mahkamah Agung; 6) Riadi Waluyo di Pengadilan Negeri Denpasar. Maka dari itu, kesimpulan yang dapat diambil dari rendahnya putusan terhadap Nurhadi adalah terbukanya peluang para mafia peradilan untuk kembali melakukan praktik korupsi.

Diantara sekian banyak kejanggalan dalam putusan, ada satu isu yang menarik perhatian publik, yakni dua orang terdakwa tidak dibebani pembayaran uang pengganti sebesar Rp 83 miliar. Alasan hakim, perbuatan terdakwa tidak merugikan keuangan negara, sehingga keliru jika dikenakan uang pengganti. Tentu argumentasi hakim itu keliru dan melenceng dari peraturan perundang-undangan. Penting untuk ditegaskan bahwa pengenaan pidana tambahan tidak bergantung pada jenis korupsi yang dilakukan oleh pelaku. Hal itu tertuang dalam Pasal 17 UU Tipikor yang menyebutkan bahwa selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.

Selain itu, Pasal 18 huruf b UU Tipikor juga tidak mensyaratkan adanya kerugian keuangan negara untuk dapat menjatuhi pidana uang pengganti. Aturan tersebut mendefinisikan uang pengganti sebagai pembayaran uang yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Nurhadi dan Rezky terbukti melakukan tindak pidana suap dan gratifikasi, untuk itu, apakah dua perbuatan itu tidak dianggap sebagai bagian dari korupsi? Lagi pun, pengenaan pidana uang pengganti untuk perkara suap atau gratifikasi sudah beberapa kali diputus oleh pengadilan. Berpijak dengan hal itu, semestinya hakim tidak mengeluarkan argumentasi keliru dengan menolak pengenaan pidana uang pengganti kepada terdakwa.

Indonesia Corruption Watch menginventarisir putusan-putusan perkara suap yang juga dikenakan pidana tambahan uang pengganti oleh majelis hakim. Hal ini penting untuk memperlihatkan kekeliruan tafsir dari hakim yang menyidangkan perkara Nurhadi dan Rezky. Pertama, putusan Angelina Sondakh dalam perkara suap pembangunan Wisma Atlet. Kala itu, putusan kasasi juga menjatuhkan pidana uang pengganti kepada terdakwa sebesar Rp 12,58 miliar dan USD 2,35 juta. Kedua, putusan Risyanto Suanda, mantan Direktur Utama Perusahaan Umum Perikanan Indonesia. Ia dinilai terlibat dalam perkara suap dan gratifikasi terkait persetujuan impor ikan. Pada pertengahan tahun 2020, Risyanto turut diganjar hukuman pembayaran uang pengganti sebesar Rp 1,24 miliar.

Ketiga, putusan kasasi terhadap Emirsyah Satar, mantan Direktur Utama PT Garuda. Adapun, Emirsyah terbukti menerima suap dan melakukan pencucian uang terkait pengadaan pesawat dan mesin dari Air Bus dan Rolls Royce. Namun putusan tetap mengenakan pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebesar SGD 2,1 juta.

Maka dari itu, ICW mendesak agar:

  1. Pengadilan Tinggi menerima permohonan banding yang diajukan oleh KPK dan mengenakan pidana tambahan uang pengganti sejumlah Rp 83 miliar kepada Nurhadi dan Rezky Herbiyono;
     
  2. KPK dan Komisi Yudisial mencermati proses persidangan di Pengadilan Tinggi untuk mencegah adanya praktik korupsi maupun pelanggaran etik Hakim;

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan