UU Pemilu; Politik Biaya Tinggi & Kooptasi Pemilik Modal

Siaran Pers

Pemilu 2014 terancam mahal, politik biaya tinggi tak terhindarkan. Kooptasi pemilik modalpun
akan menghiasi pertarungan politik dengan menyingkirkan kedaulatan rakyat. kondisi itu yang
terlihat dari desain pengaturan dana kampanye dalam UU Pemilu. UU Pemilu yang disahkan
dalam Paripurna DPR RI, 12 April lalu tidak didesain untuk mengkondisikan pemilu yang murah
dan terjangkau.

Undang-undang Pemilu sebagai pengganti atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD dan DPRD semula diharapkan memberikan perbaikan. Harapan besar dibebankan
terhadap UU Pemilu, agar mampu memberikan perubahan yang signifikan bagi pelaksananaan
Pemilu. Namun faktanya justru sebaliknya, tidak banyak perubahan kecuali perubahan besaran
ambang batas atau parliamentary threshold. Pasal-pasal bermasalah justru tidak tersentuh sama
sekali dan secara keseluruhan UU Pemilu yang baru ini tidak mengalami perubahan yang
signifikan dari UU No. 10 tahun 2008.

Sebagai contoh pengaturan tentang dana kampanye. Dana kampanye mestinya diatur dengan
jelas dan tegas. Seperti sumber dana kampanye, pembatasan jumlah sumbangan untuk dana
kampanye, pencatatan dan pelaporan dana kampanye (termasuk identitas sumber, pemasukan
dan pengeluaran biaya kampanye), pembatasan pengeluaran (belanja) kampanye, laporan
audit, serta pengumuman laporan dana kampanye untuk dapat diketahui oleh masyarakat luas.
UU Pemilu memang sudah mengatur tentang dana kampanye, namun masih banyak bolongbolongnya.
Beberapa catatan seperti kewajiban pencatatan dan pelaporan dana kampanye,
pembatasan pengeluaran kampanye, dan pengumuman laporan dana kampanye kepada publik.
UU Pemilu yang baru mestinya mampu menjawab permasalahan dalam Pemilu 2009. Tercatat
sejumlah masalah dan kasus yang berkaitan dengan dana kampanye yang memerlukan
perbaikan. Misalnya masalah rentang waktu untuk audit laporan dana kampanye yang sangat
sempit, pencatatan sumbangan dana kampanye yang tidak jelas identitasnya, pengeluaran
belanja kampanye yang sangat besar dan tidak sesuai dengan jumlah yang tercatat dan
dilaporkan dalam laporan dana kampanye, dan bahkan sulitnya mengakses laporan hasil audit
dana kampanye yang seharusnya diumumkan kepada masyarakat luas. Lantas, apa makna dari
perubahan, revisi, atau penggantian dari UU Pemilu yang baru apabila ketentuan di dalamnya
tidak banyak berubah dan tidak memiliki dampak yang signifikan.

Biaya Tinggi
Semangat pengaturan dana kampanye semula diperlihatkan dari berbagai fraksi. Berbagai
gagasan dan wacana cukup maju seperti pembatasan dana dan belanja kampanye Pemilu. Ide ini
terus bergulir dan sempat disampaikan ke publik melalui berbagai media hingga beberapa
fraksi di DPR turut mengusungnya. Namun, kenyataannya wacana ini menghilang begitu saja
tanpa adanya tindak lanjut dalam UU Pemilu yang baru.

Problem di atas menjadi sangat serius ketika kemudian DPR RI menyepakati berlakunya sistem
proporsional terbuka. Formula calon terpilih berdasar suara terbanyak dalam sistem terbuka
akan menjadikan pengaturan dana kampanye sangat kompleks. Calon akan lebih berperan
dalam kampanye, meskipun partai politik tetap memegang peran. Karena jumlah calon yang
diajukan partai politik banyak maka persaingan antarcalon dalam satu partai tidak
terhindarkan. Peredaran uang dalam persaingan yang ketat dapat dipastikan sulit dihindarkan.
Kompleksitas pengaturan dana kampanyepun terjadi. Karena itu, mestinya tidak hanya partai
politik yang membuat laporan keuangan namun juga kandidat.

Namun, UU Pemilu baru ternyata mengabaikan hal tersebut dan tidak belajar dari pengalaman
dan memperbaiki peraturan yang ada. Pasal 134 dan 135 yang mengatur tentang kewajiban
menyerahkan laporan dana kampanye, tidak mengalami perubahan signifikan. Kewajiban
melaporkan dana kampanye tetap berada di partai politik dan calon DPD. Padahal, dengan
penerapan proporsional daftar terbuka maka setiap calon legislatif mengelola dana kampanye
masing-masing. Bahkan perputaran uang di lapangan lebih banyak dilakukan masing-masing
calon karena mereka yang banyak bekerja dan berkampanye langsung kepada masyarakat.
Karena itu, bisa dipastikan rendahnya akuntabilitas dan transparansi dana kampanye. Sulit bagi
publik untuk mengetahui laporan dana kampanye calon yang akan dipilihnya. Dampaknya, dana
kampanye baik sumber dan belanjanya sulit diketahui. Masyarakat tidak dapat menilai dan
melihat apakah dana kampanye itu benar-benar berasal dari sumber yang sah menurut hukum
atau justru dari sumber-sumber illegal.

UU Pemilu hanya mengatur sedikit kewajiban peserta pemilu melaporkan dan menyerahkan
laporan daftar penyumbang kepada KPU dan menyerahkan sumbangan yang melebihi maksimal
kepada KPU (pasal 131 ayat (4) dan pasal 133 ayat (4)). Tapi kenyataannya Pemilu 2009 yang
lalu jumlah dana kampanye yang ada di dalam laporan dana kampanye yang diserahkan kepada
KPU jumlahnya tidak sesuai dengan pengeluaran riil dan tidak semuanya dilaporkan. Sehingga,
pelaksanaan di lapangan akan sangat sulit dilakukan dengan maksimal.

Kooptasi Pemilik Modal
Dana kampanye merupakan persoalan krusial yang tingkat urgensinya cukup tinggi dan
membutuhkan perhatian khusus dalam undang-undang Pemilu. Munculnya berbagai kasus
korupsi yang melibatkan sejumlah oknum pengurus partai politik yang berkuasa, anggota
legislatif, dan pejabat publik sangat erat hubungannya dengan dana politik dan dana kampanye.
Partai politik dan calon legislatif membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk dapat membiayai
kampanye dalam Pemilu. Pada pendanaan kampanye Pemilu adalah momentum bagi partai
politik serta kandidat calon legislatifnya untuk mengumpulkan dana dari masyarakat untuk
mendanai biaya kampanye.

Masalah yang sering muncul, adanya pengaruh donatur untuk partai politik dan kandidat calon
legislatif terhadap kebijakan-kebijakan politik pemerintah yang kelak dihasilkan. Masalah ini
tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. Oleh karena itu, pada
perkembangannya pada sejumlah negara dibuatlah undang-undang atau peraturan khusus yang
mengatur persoalan dana kampanye.

Ada perubahan jumlah maksimal sumbangan sumbangan dari kelompok, perusahaan dan/atau
badan usaha nonpemerintah dari 5 miliar menjadi 7,5 miliar (pasal 131 ayat (2)). Hal ini dapat
berpotensi semakin bertambah banyaknya dana kampanye yang berasal dari perusahaan atau
badan usaha, yang akhirnya berakibat pada tingginya pengaruh perusahaan atau badan usaha
yang menjadi penyumbang/donatur dana kampanye terhadap kebijakan-kebijakan yang kelak
akan diputuskan/ditetapkan oleh kandidat caleg dan/atau parpol yang menerima sumbangan
apabila mereka terpilih. Padahal hal ini yang justru dikhawatirkan dan dicegah untuk terjadi.
Dampak fatal ketiadaan pengaturan ini, jika terjadi pelanggaran mengenai sumber dana
kampanye yang dilarang itu ternyata disalurkan langsung kepada masing-masing calon tanpa
melalui partai politik, maka akan dengan mudahnya lolos begitu saja dari jeratan hukum.
Dengan demikian, maka tidak heran jika pada Pemilu 2014 nanti praktek pelanggaran ini akan
semakin marak dan tidak teratasi sepenuhnya.

Akhirnya, UU Pemilu pengganti ini hanya menjanjikan perubahan namun pada kenyataannya
tidak mampu memberikan perubahan yang signifikan. Pembahasan UU Pemilu dengan waktu
dan anggaran tinggi, tidak menghasilkan perubahan. UU Pemilu hanya sebagai investasi jangka
panjang untuk melanggengkan kekuasaan dan mempertahankan kursinya. Pemilu 2014 akan
tetap menjadi pertarungan politik berbiaya tinggi dan menjadi kooptasi pemilik modal.

Jakarta, 18 April 2012
ICW, Perludem dan TII

Contact Person:
1. Abdullah Dahlan –(Peneliti ICW) 081388768548
2. Veri Junaidi (Peneliti Perludem) 085263006929
3. Lia Wulandari – (Peneliti Perludem) 081287819885

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan