Ujian Kredibilitas Moral Polisi

DUGAAN adanya rekayasa yang dilakukan penyidik Polri dalam menangani kasus-kasus pidana semakin terkuak. Itu menempatkan lembaga penegak hukum tersebut dalam posisi terburuk sepanjang sejarah.

Penilaian itu setidaknya disampaikan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane, pengamat politik Yudi Latief dan Fadjroel Rachman, serta Guru Besar Kriminologi FISIP UI Muhammad Moestofa seiring dengan "temuan baru" atau petunjuk awal dari testimoni mantan Kapolres Jakarta Selatan Kombespol Williardi Wizard saat menjadi saksi dalam sidang pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen dengan terdakwa mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar.

Dalam sidang tersebut, Williardi menyampaikan pengakuan mengejutkan bahwa keterangannya yang tertuang dalam berkas acara pemeriksaan (BAP) adalah atas tekanan atau pressure penyidik serta sejumlah petinggi Polri dan Polda Metro Jaya.

Dengan testimoni yang disampaikan Williardi tersebut, posisi Polri semakin kentara atau punya andil dalam melemahkn KPK. Masalahnya, apakah testimoni yang disampaikan Williardi itu benar? Tentu saja masih harus menunggu peran pengadilan untuk membuktikannya, selain setiap elemen bangsa dituntut memegang teguh prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence).

Terlepas dari peran pengadilan yang nanti bertugas menguak tabir gelap yang menyelimuti konflik antarelite penegak hukum tersebut, pertanyaan yang mulai menggelinding, benarkah fenomena itu akan bisa "menghukum mati" institusi Polri?

***

Tentu, patut diyakini institusi Polri tidak akan sampai mengalami kematian. Polri sekarang hanya sedang dieksaminasi atau diuji kredibilitas moral dan strukturalnya sebagai lembaga strategis di lini penegakan hukum (law enforcement) atau bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system). Ujian yang dialami Polri sekarang lebih dominan berasal dari dirinya sendiri atau komunitasnya, bukan dari luar.

Kekuatan dari luar yang mengujinya tidak akan sampai membuat Polri terperosok, apalagi sampai mengalami kematian. Namun, bila eksaminasi tersebut dilakukan secara gencar oleh pilar-pilarnya sendiri, keniscayaan semakin rapuhnya hingga tak berdayanya institusi itu pun bisa saja terjadi.

Kekuatan internal yang berada di "tubuh" Polri bukan hanya terletak di Kapolri hingga jajaran paling bawah, tetapi juga kekuatan struktural yang memayunginya, yakni presiden. Pasalnya, secara konstitusional, presiden berhak menunjuk siapa yang menjadi pucuk pimpinan Polri.

Dalam sisi itu, kita setidaknya memaklumi bahwa apa yang diperankan polisi tidaklah ringan. Di satu sisi, baju yang dikenakan memainkan peran sebagai kekuatan strategis yudisial dan corong sistem peradilan pidana. Sementara di sisi lain, baju yang dikenakannya menyatu dengan sentral kekuatan politik.

Meski begitu, sebagai institusi strategis, "pengadilan publik" yang sekarang sedang mengujinya merupakan "instrumen moral" yang sebenarnya menggugat kode etik Tri Bhata-nya, yang secara tidak langsung mempertanyakannya secara radikal tentang sikap profesionalismenya sebagai fondasi konstruksi negara hukum.

Tak ada sama sekali elemen masyarakat sekarang yang menginginkan institusi Polri gulung tikar (mati). Sebab, pada dasarnya, masyarakat memang membutuhkan kehadirannya. Siapa pun elemen masyarakat itu mengakui bahwa polisi, selain sering atau "paling" dibenci, juga sangat dibutuhkan.

Selain itu, jasa Polri dalam kasus pengungkapan terorisme dan pengedaran narkotika di negeri ini terbilang istimewa, khususnya pada tahun ini. Jaringan Noordin M. Top berhasil dibongkar, sementara pengedar narkoba dengan omzet miliaran hingga triliunan rupiah juga dibekuk. Itu harus diakui, terlepas adanya sisi gelap dalam diri oknum Polri yang kita benci.

***

Abdul Wahid dalam buku berjudul Etika Profesi Hukum dan Rekonstruksi Moral Peradilan (2008) menyebut bahwa polisi merupakan sosok penegak hukum atau "rasul empirik" yang paling dekat dalam menjalin hubungan dengan masyarakat. Peran-peran yang ditunjukkan secara langsung menjawab, membahasakan, dan menjembatani problem yuridis yang dihadapi masyarakat.

Namun, tidak ada kondisi imunitas yang membuat Polri benar-benar steril dari kemungkinan berbuat salah, khilaf, atau menyalahi norma hukum. Menurut J.K. Skolnick yang dikutip Anton Tabah, ada dua unsur yang memengaruhi tugas polisi, yaitu unsur bahaya dan kewenangan. Unsur bahaya membuat polisi selalu curiga, sedangkan unsur kewenangan sewaktu-waktu bisa berubah menjadi kesewenang-wenangan.

Marwan Has dalam Polisi, Profesi Rumit dan Unik (2006) menyebut pula, tidak mudah menegakkan hukum pada masyarakat yang begitu kompleks, apalagi disertai upaya paksa. Di dalamnya terkait dengan kristalisasi kepentingan negara yang cenderung homogen, bahkan bisa mengabaikan kepentingan masyarakat. Ini yang memaksa polisi mengikuti aturan main.

Begitu pula saat memberikan perlindungan dan pelayanan publik, polisi sering tidak sejalan dengan kepentingan penegakan hukum karena kepentingan masyarakat lebih bersifat heterogen, yang memaksa polisi menentukan pilihan.

Itu berarti, Polri bisa saja tergoda untuk melakukan suatu perbuatan yang tak terpuji, abnormalitas, atau bahkan kriminalitas kelas berat dan tergolong menyakiti rakyat. Tetapi, "kenakalan" yang dilakukan polisi itu bisa pula menimpa siapa saja, seperti tokoh-tokoh agama, selebriti, dewan, bupati, wali kota, gubernur, menteri, jaksa, hakim, komisi yudisial, dan elemen komisi-komisi lainnya di negeri ini, termasuk oknum di KPK.

Kemungkinan adanya oknum polisi yang nakal itulah yang sebenarnya sedang menguji citra Polri. Intitusi ini ditantang oleh elemen internalnya sendiri untuk melakukan reformasi secara empiris. Keberadaan "pengadilan publik" belakangan ini tidak lebih dari sekadar membantu supaya lembaga penegakan hukum tersebut bisa menjalankan fungsi yudisialnya secara prima, objektif, akuntabel, dan inklusif. (*)

Moh. Faisol , penulis buku Audit Forensik Korupsi, pegiat di International Network for Human Rights, serta aktif di Yayasan P ermata Hati

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 13 Novermber 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan