Uang yang Mampir di MK

Berita aktual minggu terakhir pada Mei 2011 ditandai dengan munculnya laporan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI Mahfud MD kepada Presiden SBY selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat pada 20 Mei lalu. 

Dalam pertemuan tersebut dikeluarkan penjelasan resmi kedua pejabat tinggi kepada pers nasional berkaitan dengan pemberian sejumlah uang senilai 120.000 dolar Singapura oleh Nazaruddin, anggota Komisi III DPR RI,dan bendahara umum Partai Demokrat kepada Sekjen MK Janedjri M Gaffar sekitar September 2010.  

Menurut keterangan Ketua MK RI, uang tersebut telah dikembalikan kepada si pemberi melalui satpam yang bertugas di rumah pemberi dana tersebut dilengkapi dengan tanda terima dari sang satpam. Komunikasi antara Sekjen MK RI dan anggota Partai Demokrat tersebut berlanjut setelah pemberian dana tersebut yaitu ketika Sekjen DPR RI memberi tahu bahwa uang telah dikembalikan lagi.  

Jika diurai lebih lanjut secara kronologis dengan menggunakan pendekatan normatif, dapat dikemukakan beberapa fakta. Pertama, ada pemberi uang yaitu seorang anggota Komisi III DPR RI yang juga kebetulan bendahara umum Partai Demokrat, tetapi telah dibantah olehnya.  

Kedua, ada penerima uang yang menjabat Sekjen MK RI. Lalu muncul pertanyaan,ada kepentingan apa di balik pemberian uang tersebut yang kemudian telah dikembalikan. Fakta berikut, tempus delicti terjadi pada September 2010, yaitu penerimaan uang,dan pertanyaannya, mengapa tidak dilaporkan kepada KPK sebagai lembaga independen yang menurut UU memang ditugaskan untuk menerima laporan tentang penerimaan uang oleh seorang pegawai negeri.  

Fakta selanjutnya adalah ada keterangan dari sang pemberi bahwa dia tidak ada kepentingan apa pun dalam urusan di MK RI dan Sekjen MK RI tidak mengetahui kepentingan di balik pemberian uang tersebut. Sudah tentu karena mereka berdua yang bertemu dan berbicara, hanya mereka berdualah yang paling mengetahui dibandingkan orang lain. 

Suap dan Gratifikasi  
Hanya KPK-lah yang dapat membuka kotak pandora mengenai kisah pemberian uang dari kedua belah pihak. Jika pun mereka berdua tidak mengetahui kepentingan di balik pemberian sejumlah uang tersebut, tentu sah-sah saja. 

Akan tetapi, UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 telah mengatur perihal gratifikasi (Pasal 12 B) yang dirumuskan: ”Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan antara lain, bahwa yang nilainya Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih yang membuktikan bahwa gratifikasi tersebut bukan suap adalah penerima gratifikasi.  

Dalam Pasal 12 C menetapkan bahwa pelaporan gratifikasi tersebut harus disampaikan kepada KPK paling lambat tiga puluh hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Jika pelaporan gratifikasi tersebut disampaikan kepada KPK dalam batas waktu tiga puluh hari kerja, ketentuan Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku terhadap penerima uang tersebut.  

Artinya pemberian uang tersebut tidak termasuk kategori gratifikasi dan bukan tindak pidana sehingga terhadap penerima uang tidak dikenakan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara atau pidana denda sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 B ayat (2).  

Inti dari ketentuan Pasal 12 B kurang lebih sama dengan tindak pidana suap (Pasal 5 UU RI Nomor 31 Tahun 1999) karena pertama masih harus dibuktikan bahwa pemberian atau penerimaan uang ada hubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya selaku pegawai negeri.  

Bedanya gratifikasi dan tindak pidana suap (Pasal 5 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 jo UU RI Nomor 20 Tahun 2001) adalah bahwa tindak pidana suap ditujukan terhadap pemberi uang; dan Pasal 12 B ditujukan terhadap penerima uang. Ancaman hukuman dalam tindak pidana suap eks Pasal 5 tersebut lebih ringan dari ancaman dalam Pasal 12 B baik mengenai pidana penjara maupun p i d a n a denda.  

Mencermati laporan Ketua MK RI kepada KPK yang seharusnya dilakukan Sekjen MK RI karena dia sebagai penerima uang dari Nazaruddin, dari sisi ketentuan Pasal 12 C, sesungguhnya telah melampaui batas waktu pelaporan yang telah ditetapkan yaitu tiga puluh hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan gratifikasi.  

Berdasarkan UU RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, jika penerimaan uang senilai 120.000 dolar Singapura tersebut dalam tempo 30 hari kerja segera dilaporkan kepada KPK, tidak akan ada tindak pidana yang dapat didakwakan kepada penerima uang dimaksud kecuali terhadap pemberi uang (berlaku Pasal 5 UU RI Nomor 31 Tahun 1999) karena telah ada tata cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi oleh KPK.  

Kelanjutan peristiwa ini diperkuat laporan Ketua MK RI dan Sekjen MK RI, sudah tentu tidak akan berhenti pada laporan tersebut, tapi kini menjadi tanggung jawab KPK untuk menuntaskannya sesuai UU KPK. Sikap pimpinan Partai Demokrat dalam menghadapi kasus ini sangat tepat dengan menyerahkan sepenuhnya kepada KPK sebagai lembaga yang menerima laporan dari Ketua dan Sekjen MK RI.  

Tidak lama sesudah peristiwa ini terungkap kepada publik, KPK bekerja sama dengan OECD telah menyelenggarakan konferensi tentang antisuap oleh korporasi terhadap pejabat publik asing. 

Peristiwa ini hendaknya dijadikan momentum untuk melakukan evaluasi terhadap perolehan sumber dana partai politik di Indonesia sehingga pada pemilu yang akan datang dapat dicegah peristiwa “korupsi politik” (political corruption) atau tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan politically exposed person (PEP).  

Di dalam UU Restitusi Aset Ilegal Swiss Tahun 2010 telah dijelaskan yang termasuk PEPs, yaitu kepala negara atau kepala pemerintahan, politis senior,pejabat tinggi administrasi dalam pemerintahan, pejabat kehakiman,anggota militer atau anggota partai politik dan pejabat tinggi BUMN atau korporasi atau seseorang atau korporasi yang memiliki hubungan dekat dengan PEP. 

Seyogianya di dalam RUU Tipikor diatur mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PEP dengan ancaman pemberatan hukuman dari orang biasa.
ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 25 Mei 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan